NABI MUHAMMAD Shalallahu alaihi wa sallam Sang Pembimbing
(Penulis: Ustadz Abu Falih Yahya)
Pembaca yang dirahmati Allah, pada edisi kali ini, kita akan menyebutkan kisah dalam sebuah hadits dari shahabat mulia, Mu’awiyyah bin Al Hakam bin Malik bin Khalid bin Shakhr As Sulami radhiallahu anhu. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, dan juga para imam ahli hadits lainnya. Sangat banyak faedah dan pelajaran dalam hadits ini.
Hadits ini yang disepakati keabsahannya oleh para imam besar, seperti Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad. [Silahkan melihat Silsilah Ash Shahihah karya Asy Syaikh Al Albani 1/11]
Namun, para ahli bid’ah dari golongan Jahmiyah dan para pengekornya menolak hadits tersebut. Alasan mereka, lantaran di dalam hadits yang lebih dikenal dengan hadits jariyah (budak wanita) ini terdapat penetapan sifat ketinggian dzat Allah di atas langit. Selain karena hadits ini juga menjadi salah satu hujjah ahlussunnah paling tandas dalam meluluhlantakkan penyelewengan kaum mu’aththilah, yaitu orang-orang yang mengingkari semua sifat Allah atau sebagiannya. Demikianlah sikap pengekor hawa nafsu, ketika sudah tidak mendapati celah untuk menyelewengkan makna suatu dalil, mereka pun menganggap sanadnya lemah tanpa disertai bukti apa pun.
Mari kita simak redaksi haditsnya yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim.
Dari Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami radhiallahu anhu, dia berkata, “Ketika aku sedang shalat bersama Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, ada seorang jama’ah yang bersin. Lalu aku ucapkan, “Yarhamukallah” (Semoga Allah merahmatimu). Namun, para jama’ah justru menatapku dengan pandangan mereka. Aku pun berkata, “Waatsukla ummiyah” (ibumu kehilanganmu)! Apa urusan kalian melihatku? Ketika aku melihat mereka berusaha menyuruhku diam, maka aku pun diam.
Setelah itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya. Sungguh ayah dan ibuku menjadi tebusannya! Belum pernah aku melihat seorang pengajar sebelum dan sesudahnya yang lebih bagus pengajarannya dari beliau. Demi Allah, sama sekali beliau tidak membentakku, memukulku, ataupun mencelaku. Beliau shalallahu alaihi wa sallam hanya bersabda, “Sesungguhnya shalat ini tidak pantas ada sesuatu pun dari ucapan manusia. Namun, yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Al Qur’an.” – atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah – Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku ini baru saja meninggalkan kejahiliyahan. Allah subhanahu wa ta’ala telah mendatangkan Islam ini. Namun, ada di antara kami orang-orang yang biasa mendatangi dukun?”
Beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu kamu jangan mendatanginya.” Mu’awiyyah radhiallahu anhu berkata, “Ada di antara kami orang-orang yang suka bertathayyur?” Beliau bersabda, “Itu adalah sesuatu yang biasa mereka dapati di dalam dadanya. Maka jangan sampai hal itu menghalangi mereka.” – Ibnu As Shabbah, salah satu perawi hadits ini meriwayatkan dengan lafazh, “Maka jangan sampai hal itu menghalangi kalian.”-
Mu’awiyyah radhiallahu anhu melanjutkan, “Aku bertanya lagi, ‘Ada di antara kami, orang-orang yang suka membuat garis-garis (untuk meramal, pen)?” Beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu ada seorang nabi yang juga membuat garis. Maka siapa yang bisa sesuai dengan garisnya seorang nabi, silahkan saja.”
Mu’awiyyah radhiallahu anhu juga berkisah, “Saya ini memiliki seorang budak perempuan. Ia biasa menggembalakan kambing saya di sekitar Uhud dan Jawaniyyah (sebuah tempat di dekat Uhud di sebelah utara Madinah, pen). Suatu hari saya melihat ada serigala yang membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sementara saya ini manusia biasa dari keturunan Adam. Saya bisa marah sebagaimana mereka marah. Ketika itu saya sampai menampar budak perempuan tersebut.
Kemudian saya menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Ternyata beliau menganggap besar kejadian itu. Saya pun bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah saya bebaskan saja dia?” Beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Coba bawa dia kepadaku.” Saya lalu membawanya mendatangi beliau. Lantas Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bertanya kepada budak itu, “Dimana Allah?” Dia menjawab, “Di atas langit.” Beliau shalallahu alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa aku?” Dia menjawab, “Anda Rasulullah.” Beliau shalallahu alaihi wa sallam lantas bersabda, “Bebaskan dia, karena dia adalah seorang mukminah.” (HR. Muslim no. 537 dan Ahmad di dalam Al Musnad 5/447-448).
Ini redaksi lengkap hadits jariyah yang terdapat di dalam Shahih Muslim.
Pembaca, yang dimuliakan Allah, di dalam hadits ini banyak terdapat faedah dan pelajaran. Di antaranya:
“Katakanlah, ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS. Al An’am: 11). Maksudnya, “di atas muka bumi….”
Sehingga, makna ucapan ‘Allah di langit’ adalah Allah di atas langit, naik dan tinggi di atas ‘arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Inilah aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Aqidahnya Rasul, para shahabat, tabi’in, dan imam-imam kaum muslimin termasuk imam madzhab yang empat. Namun, kaum Jahmiyyah dan para pengekornya berusaha menolak sifat ketinggian dzat Allah tersebut dengan logika-logika rusak. Sehingga:
“Siapa yang mendatangi tukang ramal lalu bertanya sesuatu kepadanya, tidak akan diterima shalatnya selama 40 malam.”
“Siapa yang mendatangi dukun, lalu membenarkan apa yang diucapkannya, maka dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.”
Adapun rasa optimis ketika mendengar kata-kata yang baik, atau melihat sesuatu yang baik, yang tidak sampai masuk dan berpengaruh pada aqidah, maka yang demikian tidak mengapa. Sebagaimana sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam.
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ
“Tidak ada penularan (dengan sendirinya, tanpa takdir Allah), tidak ada pula anggapan sial. Tetapi aku kagum dengan al fa’lu.” Para shahabat bertanya, “Apa itu fa’lu?” Beliau shalallahu alaihi wa sallam menjawab, “Kata-kata yang baik.” (HR. Al Bukhari-Muslim dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu anhu)
Lantas, jika seseorang mendapati perasaan tidak enak dalam qalbunya, karena melihat atau mendengar sesuatu, maka jangan ia hiraukan. Tetap teruskan apa yang tadi telah diniatkan dan bacalah doa:
“Ya Allah, tiada kebaikan melainkan kebaikan-Mu, tiada kesialan melainkan datang dari-Mu, dan tiada sesembahan (yang hak) selain diri-Mu.” (HR. Ahmad)
Setelah itu penuhkan tawakal hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala saja.
Ini beberapa faedah yang bisa kita petik dari hadits jariyah. Masih banyak faedah lain yang belum disebutkan karena keterbatasan ruang. Bisa dirujuk ke kitab Syarah Shahih Muslim karya Al Hafidz An Nawawi jilid 5/25-30 dan Syarah Riyadhush Shalihih karya Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin jilid 2/443-447.
Semoga pembahasan singkat ini bermanfaat untuk kita semua, amin. Ya Mujibas sa’ilin.
Sumber: Majalah Qudwah Edisi 5 Vol 1 1434 H/2013 M hal. 38-43.
Pembaca yang dirahmati Allah, pada edisi kali ini, kita akan menyebutkan kisah dalam sebuah hadits dari shahabat mulia, Mu’awiyyah bin Al Hakam bin Malik bin Khalid bin Shakhr As Sulami radhiallahu anhu. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, dan juga para imam ahli hadits lainnya. Sangat banyak faedah dan pelajaran dalam hadits ini.
Hadits ini yang disepakati keabsahannya oleh para imam besar, seperti Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad. [Silahkan melihat Silsilah Ash Shahihah karya Asy Syaikh Al Albani 1/11]
Namun, para ahli bid’ah dari golongan Jahmiyah dan para pengekornya menolak hadits tersebut. Alasan mereka, lantaran di dalam hadits yang lebih dikenal dengan hadits jariyah (budak wanita) ini terdapat penetapan sifat ketinggian dzat Allah di atas langit. Selain karena hadits ini juga menjadi salah satu hujjah ahlussunnah paling tandas dalam meluluhlantakkan penyelewengan kaum mu’aththilah, yaitu orang-orang yang mengingkari semua sifat Allah atau sebagiannya. Demikianlah sikap pengekor hawa nafsu, ketika sudah tidak mendapati celah untuk menyelewengkan makna suatu dalil, mereka pun menganggap sanadnya lemah tanpa disertai bukti apa pun.
Mari kita simak redaksi haditsnya yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim.
Dari Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami radhiallahu anhu, dia berkata, “Ketika aku sedang shalat bersama Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, ada seorang jama’ah yang bersin. Lalu aku ucapkan, “Yarhamukallah” (Semoga Allah merahmatimu). Namun, para jama’ah justru menatapku dengan pandangan mereka. Aku pun berkata, “Waatsukla ummiyah” (ibumu kehilanganmu)! Apa urusan kalian melihatku? Ketika aku melihat mereka berusaha menyuruhku diam, maka aku pun diam.
Setelah itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya. Sungguh ayah dan ibuku menjadi tebusannya! Belum pernah aku melihat seorang pengajar sebelum dan sesudahnya yang lebih bagus pengajarannya dari beliau. Demi Allah, sama sekali beliau tidak membentakku, memukulku, ataupun mencelaku. Beliau shalallahu alaihi wa sallam hanya bersabda, “Sesungguhnya shalat ini tidak pantas ada sesuatu pun dari ucapan manusia. Namun, yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Al Qur’an.” – atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah – Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku ini baru saja meninggalkan kejahiliyahan. Allah subhanahu wa ta’ala telah mendatangkan Islam ini. Namun, ada di antara kami orang-orang yang biasa mendatangi dukun?”
Beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu kamu jangan mendatanginya.” Mu’awiyyah radhiallahu anhu berkata, “Ada di antara kami orang-orang yang suka bertathayyur?” Beliau bersabda, “Itu adalah sesuatu yang biasa mereka dapati di dalam dadanya. Maka jangan sampai hal itu menghalangi mereka.” – Ibnu As Shabbah, salah satu perawi hadits ini meriwayatkan dengan lafazh, “Maka jangan sampai hal itu menghalangi kalian.”-
Mu’awiyyah radhiallahu anhu melanjutkan, “Aku bertanya lagi, ‘Ada di antara kami, orang-orang yang suka membuat garis-garis (untuk meramal, pen)?” Beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu ada seorang nabi yang juga membuat garis. Maka siapa yang bisa sesuai dengan garisnya seorang nabi, silahkan saja.”
Mu’awiyyah radhiallahu anhu juga berkisah, “Saya ini memiliki seorang budak perempuan. Ia biasa menggembalakan kambing saya di sekitar Uhud dan Jawaniyyah (sebuah tempat di dekat Uhud di sebelah utara Madinah, pen). Suatu hari saya melihat ada serigala yang membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sementara saya ini manusia biasa dari keturunan Adam. Saya bisa marah sebagaimana mereka marah. Ketika itu saya sampai menampar budak perempuan tersebut.
Kemudian saya menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Ternyata beliau menganggap besar kejadian itu. Saya pun bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah saya bebaskan saja dia?” Beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Coba bawa dia kepadaku.” Saya lalu membawanya mendatangi beliau. Lantas Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bertanya kepada budak itu, “Dimana Allah?” Dia menjawab, “Di atas langit.” Beliau shalallahu alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa aku?” Dia menjawab, “Anda Rasulullah.” Beliau shalallahu alaihi wa sallam lantas bersabda, “Bebaskan dia, karena dia adalah seorang mukminah.” (HR. Muslim no. 537 dan Ahmad di dalam Al Musnad 5/447-448).
Ini redaksi lengkap hadits jariyah yang terdapat di dalam Shahih Muslim.
Pembaca, yang dimuliakan Allah, di dalam hadits ini banyak terdapat faedah dan pelajaran. Di antaranya:
- Disyari’atkan mengajukan pertanyaan “Dimana Allah?” Sebab, Nabi shalallahu alaihi wa sallam mencontohkannya ketika hendak menguji keimanan budak wanita milik Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami radhiallahu anhu.
- Benarnya jawaban atas pertanyaan di atas bahwa Allah ada di atas langit. Makna kata fi (di) di sini adalah ‘ala (di atas) sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Katakanlah, ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS. Al An’am: 11). Maksudnya, “di atas muka bumi….”
Sehingga, makna ucapan ‘Allah di langit’ adalah Allah di atas langit, naik dan tinggi di atas ‘arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Inilah aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Aqidahnya Rasul, para shahabat, tabi’in, dan imam-imam kaum muslimin termasuk imam madzhab yang empat. Namun, kaum Jahmiyyah dan para pengekornya berusaha menolak sifat ketinggian dzat Allah tersebut dengan logika-logika rusak. Sehingga:
- Sebagian mereka mengatakan bahwa Allah ada di mana-mana. Ini merupakan keyakinan batil. Karena, berkonsekuensi bahwa Allah juga ada di tempat-tempat kotor seperti di WC, bangkai anjing, dan yang semisalnya. Mahasuci Allah dari apa yang mereka katakan.
- Sebagian yang lain mengatakan bahwa Allah itu tidak di atas, tidak di bawah, tidak di depan, tidak di belakang, tidak di samping kanan, tidak di samping kiri, tidak di dalam alam, tidak di luar alam, dst. Ini merupakan puncak kekufuran. Karena berkonsekuensi meniadakan dzat Allah dan menyerupakan-Nya dengan sesuatu yang tidak ada. Padalah, dalil-dalik yang menetapkan sifat ketinggian dzat Allah dari Al Qur’an dan As Sunnah sangatlah banyak ragamnya. Sekiranya mau dirinci satu per satu maka bisa mencapai sekitar seribu dalil, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abil ‘Izz dalam kitab Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyyah.
- Gerakan yang sedikit di dalam shalat tidak membatalkan shalat. Sebab Nabi tidak mengingkari para shahabat yang memukul-mukul paha dengan tangannya. Hanya saja beliau bersabda dalam hadits Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhu yang artinya, “Jika terjadi sesuatu pada kalian (di dalam shalat), maka kaum lelaki hendaknya bertasbih dan kaum wanita hendaknya menepukkan tangan.” (HR. Al Bukhari – Muslim)
- Berbicara di dalam shalat itu tidak diperbolehkan. Bahkan bisa membatalkannya kecuali karena jahil, lupa, lalai, kebutuhan darurat atau terpaksa.
- Tidak boleh mendoakan “yarhamukallah” kepada orang yang bersin ketika sedang shalat. Namun bagi yang bersin disunnahkan untuk membaca tahmid dengan suara yang lirih. Agar tidak mengganggu jama’ah shalat yang lain.
- Bagusnya pengajaran Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Beliau shalallahu alaihi wa sallam mendidik dengan penuh kelembutan serta kesabaran terutama terhadap orang yang jahil.
- Dukun adalah orang yang memberitakan perkara gaib yang akan terjadi di masa mendatang. Dia bekerja sama dengan para jin yang biasa mencuri berita langit. Namun, kemudian jin menambahinya dengan seratus kedustaan yang lain. Mengenai hukum mendatangi dukun ada beberapa keadaan:
- Mendatangi dan bertanya tapi tidak membenarkannya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Muslim dari sebagian istri Nabi shalallahu alaihi wa sallam bahwa beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang mendatangi tukang ramal lalu bertanya sesuatu kepadanya, tidak akan diterima shalatnya selama 40 malam.”
- Mendatangi, bertanya, dan membenarkannya. Maka sebagaimana terdapat dalam hadits riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 2006 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang mendatangi dukun, lalu membenarkan apa yang diucapkannya, maka dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.”
- Mendatangi dan bertanya untuk mengetes dan mendustakannya, serta membongkar kepalsuannya. Maka ini tidak mengapa. Sebab Nabi shalallahu alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad tentang apa yang beliau sembunyikan. Dia menjawab, “Asap.” Beliau shalallahu alaihi wa sallam lantas bersabda, “Hah, engkau tidak akan melampaui batasmu ini.” (HR. Al Bukhari-Muslim dari shahabat Abdullah bin ‘Umar radhiallahu anhu).
- Tathayyur adalah anggapan sial dengan sesuatu. Hal itu termasuk dari amalan jahiliyah yang diharamkan karena bertentangan dengan tauhid. Sebab, seorang yang bertauhid sepenuhnya, yakin bahwa segala sesuatu itu terjadi dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga dia hanya bertawakal kepada-Nya. Sedangkan orang yang bertathayyur menggantungkan sikapnya untuk melanjutkan atau membatalkan apa yang tadinya telah diniatkan kepada apa yang didengar atau dilihatnya. Karena munculnya perasaan buruk dan anggapan sial darinya. Sehingga tawakalnya pun tidak lagi tertuju hanya kepada Allah. Selanjutnya, qalbunya akan melemah, merasa takut kepada makhluk, dan bergantung kepada sebab-sebab, atau bahkan pada perkara yang sama sekali bukan merupakan sebab.
Adapun rasa optimis ketika mendengar kata-kata yang baik, atau melihat sesuatu yang baik, yang tidak sampai masuk dan berpengaruh pada aqidah, maka yang demikian tidak mengapa. Sebagaimana sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam.
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ
“Tidak ada penularan (dengan sendirinya, tanpa takdir Allah), tidak ada pula anggapan sial. Tetapi aku kagum dengan al fa’lu.” Para shahabat bertanya, “Apa itu fa’lu?” Beliau shalallahu alaihi wa sallam menjawab, “Kata-kata yang baik.” (HR. Al Bukhari-Muslim dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu anhu)
Lantas, jika seseorang mendapati perasaan tidak enak dalam qalbunya, karena melihat atau mendengar sesuatu, maka jangan ia hiraukan. Tetap teruskan apa yang tadi telah diniatkan dan bacalah doa:
“Ya Allah, tiada kebaikan melainkan kebaikan-Mu, tiada kesialan melainkan datang dari-Mu, dan tiada sesembahan (yang hak) selain diri-Mu.” (HR. Ahmad)
Setelah itu penuhkan tawakal hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala saja.
- Dilarangnya meramal dengan membuat garis-garis. Adapun sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam, “Dahulu ada seorang nabi yang juga membuat garis-garis. Maka siapa yang bisa menepati garisnya para nabi, silahkan saja.” Maknanya, siapa yang bisa menepati garis yang dibuat oleh nabi tersebut, maka hukumnya boleh. Hanya saja, kita tidak memiliki jalan untuk bisa menepatinya, sehingga hukumnya tidak boleh. Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda demikian, tidak secara tegas menyatakan bahwa itu haram agar jangan sampai ada yang mengira bahwa larangan ini juga mengenai nabi yang membuat garis tersebut. Karena mereka membuat garis dengan bimbingan wahyu. Sehingga Nabi shalallahu alaihi wa sallam bermaksud menjaga kehormatan nabi tersebut dengan juga menjelaskan hukumnya bagi kita.
- Haramnya menganiaya budak, menghukum tanpa alasan yang benar, dan melampaui batasan. Siapa yang melakukannya, maka kaffarah atau tebusannya adalah membebaskannya.
- Wajbinya berilmu tentang pokok-pokok akidah bagi setiap muslim dan muslimah. Bahkan, status budak sekalipun tidak menggugurkan dari hukum wajibnya.
- Tersebarnya ilmu syar’i di masa shahabat. Sampai-sampai seorang budak wanita pengembala kambing pun mengetahui tentang akidah yang benar. Ini sangat berbeda dengan kondisi di masa ini. Dimana banyak kaum muslimin, bahkan sebagian sampai bertitel profesor doktor yang tidak mengetahui akidah dasar seperti yang diketahui oleh wanita pengembala kambing ini. Wallahul musta’an.
Ini beberapa faedah yang bisa kita petik dari hadits jariyah. Masih banyak faedah lain yang belum disebutkan karena keterbatasan ruang. Bisa dirujuk ke kitab Syarah Shahih Muslim karya Al Hafidz An Nawawi jilid 5/25-30 dan Syarah Riyadhush Shalihih karya Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin jilid 2/443-447.
Semoga pembahasan singkat ini bermanfaat untuk kita semua, amin. Ya Mujibas sa’ilin.
Sumber: Majalah Qudwah Edisi 5 Vol 1 1434 H/2013 M hal. 38-43.
Posting Komentar untuk "NABI MUHAMMAD Shalallahu alaihi wa sallam Sang Pembimbing"