Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ibnu Majah

(Penulis: Ustadz Abu Hafy Abdullah.)
Qazwin, sebuah daerah di Iran pernah menjadi saksi bisu lahirnya seorang ulama dan imam dalam ilmu hadits. Secara geografis, wilayah Qazwin berjarak seratus mil di sebelah barat laut kota Teheran yang merupakan ibu kota Iran. Saat itu, wilayah Qazwin merupakan salah satu daerah perbatasan kaum muslimin yang sangat vital. Adapun di sebelah utaranya terdapat sebuah laut yang bernama Laut Qazwin.

Para pembaca, apabila kita membicarakan Qazwin, kita teringat kepada beberapa ulama besar dalam berbagai cabang ilmu yang muncul dari wilayah itu. Sebut saja Abu Ya’la Al-Khalil pemilik kitab Al-Irsyad dan juga di antaranya adalah Imam Faqih Abdul Karim bin Muhammad Ar-Rafi’ sang pemilik kitab At-Tadwin fi Akhbari Qazwin. Di sana pula terlahir Muhammad bin Yazid Majah pada tahun 209 H yang lebih familiar dengan sebutan Ibnu Majah dan kuniah Abu Abdillah. Beliau menegaskan tahun kelahirannya tersebut sebagaimana dinukilkan oleh Abul Fadhl Muhammad bin Thahir Al Maqdisi. Beliau adalah seorang Hafizh (penghafal hadits) dari Qazwin, Hujjah (hafalannya kuat), Mufassir (ahli tafsir) dan sederet gelar mulia yang beliau miliki. Adapun Majah dengan disukunnya huruf ha di akhir kata adalah gelar untuk ayahnya yang bernama Yazid yang juga dikenal dengan Majah Maula Rab’at. Sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Abdul Karim Ar-Rafi’i dalam kitab Akhbar Qazwin dengan tulisan Abul Hasan Al Qaththan yang merupakan perawi Sunan Ibnu Majah. Hal senada juga disampaikan oleh Abu Ya’la Al-Khalaly dan untuk lebih jelasnya bisa merujuk kepada Siyar A’lamin Nubala. 


Rupanya Abu Abdillah Ibnu Majah dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang cinta ilmu agama. Keluarga Yazid yang populer dengan keluarga Majah ini adalah sebuah keluarga ulama. Perhatian besar Ibnu Majah terhadap ilmu agama ini diikuti pula oleh saudara-saudara beliau. Di antara saudara-saudara beliau yang dikenal keilmuan dan kefaqihannya adalah Abu Bakr, Abu Abdillah, Abu Muhammad Al-Hasan bin Yazid. Bahkan nama yang terakhir ini direkomendasi oleh sebagian ulama sebagai seorang syaikh yang tsiqah. Ia memiliki seorang anak yang bernama Abul Hasan Ahmad dan punya pula cucu yang bernama Muhammad bin Hamzah. Sebagian ulama menyatakan bahwa mereka berasal dari keluarga ilmu dan hadits. Subhanallah, sebuah keutamaan dan karunia yang sangat agung dari Allah subhanahu wa ta’ala. Namun yang paling menonjol keilmuan dan ketenarannya di antara keluarga tersebut adalah tokoh kita kali ini yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Yazid.

Ibnu Majah mulai menekuni dunia pendidikan agama semenjak usia belasan tahun. Dalam usia relatif muda, beliau telah menimba ilmu dari seorang ulama terkenal saat itu yang bernama Ali bin Muhammad At-Thanafisi. Potensi dan antusias yang besar membuatnya berkelana ke berbagai penjuru negeri untuk menuntut ilmu agama. Tak ayal, beliau pun memiliki keistimewaan dalam berbagai cabang ilmu. Ya, Ibnu Majah adalah seorang ulama multi talenta yang sulit dicari tandingannya pada masa itu. statusnya sebagai imam dalam ilmu hadits telah menggelegar di seantero dunia. Bukan pujian yang berlebihan, mengingat beliau mempunyai karya yang sangat monumental dalam ilmu hadits, yaitu Sunan Ibnu Majah. Di samping itu, predikat sebagai seorang Hafizh Naqid (penghafal hadits sekaligus pakar pengkritisi) juga beliau sandang dari para ulama. Tidak ketinggalan, ilmu tafsir juga beliau kuasai dengan sangat baik dan bahkan ilmu tarikh (sejarah) juga tidak luput dari jangkauan ilmunya. oleh karena itu, muncullah berbagai karya tulis beliau yang begitu dikenal dan diambil manfaatnya oleh para ulama.

Apa yang tersebut di atas bukanlah suatu hal yang asing bagi seorang imam sekaliber Ibnu Majah. Bagaimana tidak, ulama yang satu ini mempunyai kecerdasan yang luar biasa, kekuatan hafalan yang sangat kuat, kesabaran yang membaja dalam menuntut ilmu dan antusias besar dalam melakukan rihlah untuk menuntut ilmu. Beliau tidak puas dengan hanya menimba ilmu dari para ulama di wilayah Qazwin semisal Ali bin Muhammad At-Thanafisi Al-Kufi, Amr bin Rafi’ Al-Bajali, Ismail bin Taubah Ats-Tsaqafi atau yang lainnya. Beliau memilih safar untuk menuntut ilmu agama dan meninggalkan tempat tinggal menuju ke berbagai negeri. Tercatat dalam sejarah, beliau pernah rihlah ke negeri Rayy dan meriwayatkan hadits dari Al Hafizh Muhammad bin Humaid Ar-Razi. Kemudian beliau menjelajahi negeri Naisabur lalu menimba ilmu dari Al-Hafizh Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Iraq menjadi tujuan rihlah berikutnya dan di sana meriwayatkan hadits dari dua putra Abu Syaibah, yaitu Abu Bakr dan Utsman, Ahmad bin Abdah dan Zuhair bin Harb. Tidak berhenti sampai di situ, beliau lantas melanjutkan penjelajahannya ke negeri Syam untuk belajar kepada Hisyam bin Ammar dan Muhammad bin Al-Mushaffa. Bahkan Mesir juga tidak luput dari sasaran beliau sehingga bisa bertemu dengan Abu Thahir bin As-Sarj, Muhammad bin Rumh dan Yunus bin Abdil A’la. Selanjutnya Hijaz menjadi tempat persinggahan beliau sehingga bisa meriwayatkan hadits dari Ibnu Abi Umar. Dan beliau pun tiba di kota suci Makkah dan mendengar hadits dari Abu Marwan Al-Utsmani. Kemudian berakhir rihlah beliau di kota Madinah untuk mendengar hadits dari Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami dan Abu Mush’ab Az-Zuhri. Rihlah menuntut ilmu ini beliau lakukan dalam usia yang masih muda dan kuat fisiknya. Terbukti beberapa guru beliau meninggal terlebih dahulu seperti Zuhair bin Harb dan Abdullah bin Numair yang tinggal di Irak. Keduanya meninggal pada tahun 234 H sehingga kita bisa berkesimpulan bahwa saat rihlah tersebut beliau masih berumur dua puluh lima tahun. Dalam rihlahnya ini, Ibnu Majah juga bertemu dengan beberapa ulama ahli fiqih. Sebut saja seperti Harmalah bin Yahya At-Tujaibi, Ar Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi (keduanya adalah murid Imam Asy Syafi’i), Yunus bin Abdul A’la Al Faqih Al Maliki dan Hamzah bin Habib Az Zayyat yang keduanya merupakan guru untuk bidang qiraah sab’ah-nya.

Tidak diragukan lagi bahwa pertemuan Ibnu Majah dengan sekian banyak ulama tersebut bisa membuahkan faedah yang sangat banyak. Karena beliau berguru kepada ulama tersebut dalam waktu yang cukup lama. Demikianlah keadaan para penuntut ilmu secara global di zaman dahulu. Jauhnya jarak bukanlah penghalang bagi mereka untuk menempuh perjalanan jauh demi tujuan yang mulia, yaitu menuntut ilmu syar’i. Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan bermajelis ulama dengan sangat baik, menghabiskan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu di hadapan para ulama dan menulis faedah yang disampaikan. Oleh karena itu, Ibnu Majah mempunyai guru yang sangat banyak dan hal itu selaras dengan rihlah beliau yang juga sangat banyak. Al-Hafizh Al-Mizzi mengatakan dalam Tahdzibul Kamal, “Ibnu Majah telah berguru kepada para ulama di Khurasan, Irak, Hijaz, Mesir, Syam, dan negeri yang lainnya. Perincian tentang guru-gurunya akan memakan banyak waktu. Namun kami telah menyebutkan sebagian dari mereka sesuai dengan pengetahuan kami.”

Sebagian ulama kontemporer telah menyebutkan bahwa guru beliau, baik dalam periwayatan hadits atau tafsir mencapai tiga ratus sepuluh ulama. Seluruh biografi ulama-ulama tersebut tercantum dalam kitab Tahdzibul Kamal karya Al-Mizzi atau kitab biografi yang lainnya. Yang lebih istimewa lagi, begitu banyak guru beliau yang juga merupakan gurunya Al-Bukhari dan Muslim seperti Muhammad bin Basyar Bundar, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Abu Kuraib Muhammad bin Al-A’la, Muhammad bin Abdullah bin Numair, dan yang lainnya. Adapun di antara murid-murid Ibnu Majah yang meriwayatkan sebagian hadits darinya adalah Ali bin Sa’id bin Abdillah Al Ghudani Al-Askari, Ibrahim bin Dinar Al-Hausyabi, Al Hamadzani, Abu Thayyib Ahmad bin Rauh Asy-Sya’rani, Ishaq bin Muhammad Al Qazwaini, Ja’far bin Idris, Al Husain bin Ali, Muhammad bin Isa Ash Shafar, Abu Amr Ahmad bin Muhammad Al-Madini Al-Ashbahani dan yang lainnya.

Sesungguhnya jika ilmu yang mulia ini tidak diikat, niscaya akan mudah terlupakan dan sirna dengan meninggalnya para ulama. Atas dasar ini, para ulama dari kalangan pendahulu kita sangat semangat untuk menuangkan ilmu mereka dalam bentuk karya tulis. Hal ini bertujuan supaya ilmu agama semakin tersebar ke berbagai penjuru dunia melalui media ini, bisa dirasakan manfaatnya oleh generasi yang akan datang dan keberadaan ilmu tersebut tetap eksis meskipun pemiliknya telah meninggal dunia. Maka Ibnu Majah termasuk salah satu ulama di antara sekian banyak ulama yang memberi perhatian lebih terhadap dakwah dengan melalui karya tulis. Tidak mengherankan tulisan beliau cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu, diantaranya:
  1. Kitab Tafsir. Sejatinya Ibnu Majah merupakan salah seorang ulama ahli tafsir. Tidak sedikit ulama yang memuji dan mengakui ketangguhan beliau dalam ilmu tafsir. Ibnu Taimiyah pernah menyebut Tafsir Ibnu Majah ini di antara serangkaian kitab tafsir yang memuat tafsir para shahabat, tabi’in, atau tabiut tabi’in. Namun sangat disayangkan, keberadaan kitab ini sama sekali tidak bisa kita jumpai. Sebagian ulama memprediksi bahwa kitab ini telah punah dan hilang dalam sebuah peristiwa di Damaskus pada tahun 853 H. Sebagaiamana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Katsir dan Adz-Dzahabi.
  2. Sunan Ibnu Majah. Para ulama berpendapat bahwa Sunan Ibnu Majah adalah kitab keenam dari rangkaian Kutubus Sittah (kitab induk hadits yang keenam) bersama Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ At Tirmidzi dan Sunan An Nasa’i. Salah satu keistimewaan kitab ini terletak pada susunannya yang tidak ada pengulangan yang serupa melainkan hanya sedikit. Hingga Shiddiq Hasan Khan rahimahullah mengatakan, “Tidak ada Kutubus Sittah yang semisal dengan Sunan Ibnu Majah, karena penulisnya sangat menjaga adanya pengulangan hadits. Meskipun itu terjadi pada sebagian kecilnya saja.” Kitab ini memuat lebih dari empat ribu hadits namun masih terdapat hadit-hadits yang lemah.
  3. Kitab Tarikh (kitab sejarah), Ibnu Katsir memuji kitab ini dengan komentarnya, “Ibnu Majah mempunyai sebuah kitab tarikh yang sempurna dari zaman shahabat sampai zamannya.”
Satu hal yang telah kita maklumi bahwa keihlasan seorang hamba dalam menuntut ilmu agama dan memberikan manfaat kepada para penuntut ilmu merupakan salah satu hal yang akan menyebarkan keutamaannya, mengharumkan perjalanan hidupnya, dan membuat namanya tetap disebut dalam kebaikan, meskipun telah meninggal dunia. Sungguh Ibnu Majah termasuk seorang ulama yang menuai banyak pujian dari para ulama, baik yang sezaman dengan beliau maupun dari generasi setelahnya. Berikut ini segelintir pujian para ulama terhadap beliau, Abu Ya’la Al Khalili berkata, “Ibnu Majah adalah seorang ulama besar lagi tsiqah (terpercaya agama dan hafalannya). Para ulama telah bersepakat bahwa beliau adalah hujjah dan membidangi ilmu hadits.”

Abdul Karim Ar-Rafi’i berkata, “Beliau adalah seorang imam kaum muslimin, ulama besar yang kuat hafalannya dan diterima oleh seluruh ulama.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang madzhab Ibnu Majah, maka beliau pun menjawab bahwa Ibnu Majah berada di atas madzhab para ulama hadits. Ibnul Atsir berkata, “Beliau adalah seorang yang cerdas, imam, dan ulama.”

Ibnu Abdil Hadi berkata, “(Dia adalah) seorang hafizh besar dan mufassir.”

Adz-Dzahabi menyatakan, “Ibnu Majah adalah seorang hafizh, kritikus yang jujur dan luas ilmunya.”

Setelah kontribusi besar yang beliau berikan kepada Islam dan kaum muslimin akhirnya Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah meninggal dunia. Beliau wafat pada hari Senin 22 Ramadhan tahun 273 H. Beliau wafat pada usia enam puluh empat tahun dan dimakamkan pada hari Selasa di Qazwin. Saudara beliau yang bernama Abu Bakr dan Abu Abdillah beserta sang putra Abdullah turut menshalati jenazah beliau. Semoga Allah membalas seluruh kebaikan beliau dan melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau. Aamin, Ya Mujibas Sailin.


Sumber: Majalah Qudwah Edisi 16 Vol 2 1435 H/ 2014 M hal. 24-28.

Posting Komentar untuk "Ibnu Majah"