Meraih Mahabbah dengan Ziarah
(Penulis: Ustadz Abu Hisyam Sufyan)
Pembaca Qudwah rahimakumullah, kita semua tentu menginginkan untuk dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bagaimana tidak, Allah telah menjanjikan bagi hamba-hamba yang ia cintai, bahwa mereka pasti akan selalu mendapatkan berbagai kebaikan.
BUAH MAHABBATULLAH
Dalam salah satu hadits qudsi, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan akan selalu membimbing, mengabulkan permintaan, serta memberikan perlindungan kepada orang yang dicintai-Nya. Inilah keutamaan besar yang berhak didapatkan oleh orang-orang yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala. Tentunya, seorang muslim, ketika mereka mendapati keutamaan yang agung dalam hadits qudsi di atas, ia pun tergerak untuk berusaha menjadi hamba-Nya yang ia cintai. Sehingga ia pun benar-benar meraih janji-Nya.
Bagaimana agar seseorang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala? Tentu dengan menjalankan berbagai sebab yang diterangkan oleh syariat ini. Yang jika seseorang melakukannya, maka mahabbatullah pun dapat ia raih.
MAKNA ZIARAH
Di antara cara dan sebab untuk meraih mahabbatullah ialah melakukan ziarah. Ziarah yang kami maksud di sini bukanlah ziarah kubur. Tapi yang kami maksud adalah berkunjung kepada saudara seiman secara umum, walau bukan kerabat keluarganya. Siapa pun itu.
Asal kata ziarah dalam penggunaan bahasa Arab bermakna mengunjungi. Asal kata ini bersifat umum, mencakup mengunjungi kuburan atau yang lainnya. Seseorang mengunjungi kuburan dikatakan ziarah dan seseorang yang mengunjungi saudaranya pun juga bisa dikatakan bahwa ia sedang menziarahi saudaranya. Demikian seterusnya. Walaupun memang dalam bahasa Indonesia mengalami penyempitan makna, yaitu dipakai untuk objek kuburan. Sehingga, ketika kata ziarah disebut, maka yang muncul di pikiran kita ialah ziarah kubur.
Nah, dalam tulisan ini, kami akan menggunakan kata ziarah untuk makna umum, sebagaimana asalnya dalam bahasa Arab. Yaitu ziarah kepada saudara seiman karena Allah subhanahu wa ta’ala. Ziarah ini pun termasuk amalan shalih yang agung. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan kecintaan-Nya kepadanya.
Namun, mengunjungi saudara seiman tersebut harus ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Ia cinta kepadanya karena ia seorang muslim, maka ia pun menziarahinya karena Allah.
Menguatkan hal ini, satu hadits qudsi yang lain, di mana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Pasti akan mendapatkan cinta-Ku bagi orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, saling menziarahi karena-Ku, saling memberi karena-Ku, dan saling bermajelis karena-Ku.” (HR. Imam Malik dari shahabat Muadz bin Jabal radhiallahu anhu dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Targhib no. 3018).
Bahkan, dalam hadits yang lain, orang yang suka menziarahi saudaranya seiman, maka ia akan didoakan dengan doa yang mengagumkan. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang menjenguk seorang yang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah, maka seorang penyeru pun mendoakan, ‘Semoga Allah memperbaiki kehidupanmu, semoga Allah memperbaiki perjalananmu nanti, semoga Allah siapkan rumah untukmu di dalam surga’.” (HR. Ibnu Majah, At Tirmidzi, Ibnu Hibban dan lainnya. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Targhib no: 2578)
Nah, masihkan kita ragu untuk meraihnya?
Berkaitan dengan hal ini, terdapat suatu kisah yang Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam kisahkan.
أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ فَإِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
“Dahulu kala, ada seseorang yang hendak menziarahi saudaranya yang ada di suatu kampung. Maka Allah pun mengutus satu malaikat agar menunggunya di jalan yang ia lalui. Ketika malaikat menjumpainya, ia pun bertanya kepada si lelaki, ‘Kamu mau ke mana?’
‘Aku ingin menziarahi saudaraku yang ada di desa seberang.’ Jawabnya.
‘Apakah engkau memiliki hutang budi kepadanya yang sekarang kau ingin membalasnya?’
‘Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allah.’
‘Ketahuilah, aku adalah utusan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala mengutusku kepadamu. Aku ingin mengabarkan kepadamu bahwa Allah subhanahu wa ta’ala pun mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena-Nya.’ (HR. Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Hadits ini menerangkan keutamaan besar yang berhak didapatkan oleh seseorang yang menziarahi saudaranya karena Allah. Maksud “karena Allah” adalah ia benar-benar mengharapkan pahala Allah subhanahu wa ta’ala dari apa yang ia lakukan. Yakni, ziarahnya memang untuk niatan-niatan yang baik.
Maka kiranya di sini kita perinci adab ziarah yang baik, sebagaimana diterangkan oleh para ulama. Sehingga dengan beradab ketika berziarah, maka kita pun benar-benar akan mendapatkan mahabatullah. Semoga.
ADAB-ADAB ZIARAH
Sumber: Majalah Qudwah Edisi 11 Vol. 1 1434 H/2013 M halaman 4 – 11.
Pembaca Qudwah rahimakumullah, kita semua tentu menginginkan untuk dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bagaimana tidak, Allah telah menjanjikan bagi hamba-hamba yang ia cintai, bahwa mereka pasti akan selalu mendapatkan berbagai kebaikan.
BUAH MAHABBATULLAH
Dalam salah satu hadits qudsi, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan akan selalu membimbing, mengabulkan permintaan, serta memberikan perlindungan kepada orang yang dicintai-Nya. Inilah keutamaan besar yang berhak didapatkan oleh orang-orang yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala. Tentunya, seorang muslim, ketika mereka mendapati keutamaan yang agung dalam hadits qudsi di atas, ia pun tergerak untuk berusaha menjadi hamba-Nya yang ia cintai. Sehingga ia pun benar-benar meraih janji-Nya.
Bagaimana agar seseorang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala? Tentu dengan menjalankan berbagai sebab yang diterangkan oleh syariat ini. Yang jika seseorang melakukannya, maka mahabbatullah pun dapat ia raih.
MAKNA ZIARAH
Di antara cara dan sebab untuk meraih mahabbatullah ialah melakukan ziarah. Ziarah yang kami maksud di sini bukanlah ziarah kubur. Tapi yang kami maksud adalah berkunjung kepada saudara seiman secara umum, walau bukan kerabat keluarganya. Siapa pun itu.
Asal kata ziarah dalam penggunaan bahasa Arab bermakna mengunjungi. Asal kata ini bersifat umum, mencakup mengunjungi kuburan atau yang lainnya. Seseorang mengunjungi kuburan dikatakan ziarah dan seseorang yang mengunjungi saudaranya pun juga bisa dikatakan bahwa ia sedang menziarahi saudaranya. Demikian seterusnya. Walaupun memang dalam bahasa Indonesia mengalami penyempitan makna, yaitu dipakai untuk objek kuburan. Sehingga, ketika kata ziarah disebut, maka yang muncul di pikiran kita ialah ziarah kubur.
Nah, dalam tulisan ini, kami akan menggunakan kata ziarah untuk makna umum, sebagaimana asalnya dalam bahasa Arab. Yaitu ziarah kepada saudara seiman karena Allah subhanahu wa ta’ala. Ziarah ini pun termasuk amalan shalih yang agung. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan kecintaan-Nya kepadanya.
Namun, mengunjungi saudara seiman tersebut harus ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Ia cinta kepadanya karena ia seorang muslim, maka ia pun menziarahinya karena Allah.
Menguatkan hal ini, satu hadits qudsi yang lain, di mana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Pasti akan mendapatkan cinta-Ku bagi orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, saling menziarahi karena-Ku, saling memberi karena-Ku, dan saling bermajelis karena-Ku.” (HR. Imam Malik dari shahabat Muadz bin Jabal radhiallahu anhu dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Targhib no. 3018).
Bahkan, dalam hadits yang lain, orang yang suka menziarahi saudaranya seiman, maka ia akan didoakan dengan doa yang mengagumkan. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang menjenguk seorang yang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah, maka seorang penyeru pun mendoakan, ‘Semoga Allah memperbaiki kehidupanmu, semoga Allah memperbaiki perjalananmu nanti, semoga Allah siapkan rumah untukmu di dalam surga’.” (HR. Ibnu Majah, At Tirmidzi, Ibnu Hibban dan lainnya. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Targhib no: 2578)
Nah, masihkan kita ragu untuk meraihnya?
Berkaitan dengan hal ini, terdapat suatu kisah yang Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam kisahkan.
أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ فَإِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
“Dahulu kala, ada seseorang yang hendak menziarahi saudaranya yang ada di suatu kampung. Maka Allah pun mengutus satu malaikat agar menunggunya di jalan yang ia lalui. Ketika malaikat menjumpainya, ia pun bertanya kepada si lelaki, ‘Kamu mau ke mana?’
‘Aku ingin menziarahi saudaraku yang ada di desa seberang.’ Jawabnya.
‘Apakah engkau memiliki hutang budi kepadanya yang sekarang kau ingin membalasnya?’
‘Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allah.’
‘Ketahuilah, aku adalah utusan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala mengutusku kepadamu. Aku ingin mengabarkan kepadamu bahwa Allah subhanahu wa ta’ala pun mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena-Nya.’ (HR. Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Hadits ini menerangkan keutamaan besar yang berhak didapatkan oleh seseorang yang menziarahi saudaranya karena Allah. Maksud “karena Allah” adalah ia benar-benar mengharapkan pahala Allah subhanahu wa ta’ala dari apa yang ia lakukan. Yakni, ziarahnya memang untuk niatan-niatan yang baik.
Maka kiranya di sini kita perinci adab ziarah yang baik, sebagaimana diterangkan oleh para ulama. Sehingga dengan beradab ketika berziarah, maka kita pun benar-benar akan mendapatkan mahabatullah. Semoga.
ADAB-ADAB ZIARAH
- Ketika melakukan ziarah, hendaknya diiringi dengan niatan yang baik. Jika yang diziarahi kedua orang tua, maka dengan niat ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala, juga untuk berbakti kepada keduanya. Jika itu saudara kita, maka dengan niat untuk menyambung tali silaturahmi juga. Jika itu bukan siapa-siapa kita maka dengan niat untuk berbuat kebaikan kepada mereka semampu kita. Demikianlah seterusnya. Itu semua adalah niatan shalih, tidak bertentangan dengan ikhlas.
- Tidak menziarahinya pada waktu-waktu yang tidak tepat dan tidak layak. Secara khusus, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan ada 3 waktu terlarang yang kita tidak layak mengunjungi seseorang di waktu-waktu ini. Tentu dikecualikan kalau untuk suatu yang penting atau mendesak. Tiga waktu itu ialah sebelum fajar, siang hari waktu beristirahat, dan setelah shalat isya. Tiga waktu inilah yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan di dalam Surat An Nur ayat yang ke 58.
- Berusaha menghubungi saudaranya bahwa ia hendak menziarahinya. Tentu agar diketahui bahwa ziarahnya kali ini tidak akan memberatkannya. Dan agar diketahui pula bahwa ia memang dalam keadaan lapang.
- Jangan lupa untuk mengucapkan salam ketika sampai di rumahnya. Jika sudah tiga kali salam, tidak juga ada balasan, maka segeralah pulang, karena barangkali ia tidak ada di rumah, atau memang sedang tidak ingin diganggu dengan kedatangan kita. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ
“Jika salah seorang di antara kalian telah meminta izin tiga kali dan tidak juga dijawab, maka pulanglah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
- Jika saudaranya menghendaki agar kita pulang, maka kita tidak boleh memaksanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya,
وَإِن قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا
“Dan jika dikatakan kepada kalian pulanglah, maka pulanglah.” (QS. An Nur: 28)
- Ketika kita mendapati rumahnya kosong, tidak ada orang sama sekali, kita tidak boleh memasuki rumahnya tanpa izin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَداً فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ
“Jika kalian tidak mendapati seorang pun di dalamnya, maka janganlah kalian memasukinya sampai kalian diizinkan memasukinya.” (QS. An Nur: 28)
- Jika yang kita dapati di rumahnya adalah lawan jenis yang bukan mahram kita, maka kita tidak boleh ber-khalwat (berdua-duan) dengannya. Lebih baik kita pulang dan mengunjunginya lain waktu. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seorang laki-laki dan seorang wanita yang berdua-duaan melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. At Tirmidzi dan An Nasai. Dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah no: 430).
- Alangkah baiknya jika membawakan hadiah-hadiah untuk saudaranya. Tentu ini akan semakin menambah kecintaan mereka berdua. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menegaskan yang artinya, ‘Saling berbagi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Adabul Mufrad no: 463)
- Seyogianya tidak berlama-lama di rumahnya. Karena dikhawatirkan itu akan memberatkannya. Suatu ketika, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mengundang para shahabat untuk makan-makan di rumah beliau. Setelah mereka selesai makan, ternyata Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berkehendak agar mereka segera pulang. Akan tetapi beliau malu mengutarakannya. Karena kejadian ini, Allah subhanahu wa ta’ala pun mengajari kaum muslimin agar tidak lama-lama berbincang di rumah orang yang sedang kita kunjungi, karena dikhatarikan itu akan memberatkan orang yang sedang kunjungi. Lihat surat An Nur ayat yang ke 53.
- Tidak melakukan hal-hal yang mengurangi harga diri orang yang diziarahi ataupun harga dirinya sendiri.
- Tidak membawa anak-anak yang terbiasa merusak barang atau perkakas rumah. Karena itu pasti akan memberatkan pemilik rumah.
- Tidak memberatkan orang yang diziarahi dengan permintaan-permintaan yang memberatkannya. Baik kaitannya mengenai makanan, minuman, atau yang semisalnya.
- Berusaha untuk mengingkari kemungkaran ketika ia mendapati kemungkaran di rumah yang diziarahi. Tentu harus dengan hikmah.
- Berusaha agar orang yang dikunjungi merasa bahagia dengan kunjungan kita. Jangan sampai ia malah merasa rugi dan berat hati dengan kedatangan kita.
- Tidak mengungkit-ungkit rahasianya. Dan tidak menyebarkan aib yang ia ketahui darinya dalam kunjungannya itu. Sebaliknya, ia justru berusaha menasihati dan memperbaikinya.
- Berusaha menjaga pandangannya dan tidak menoleh ke sana ke mari memerhatikan isi rumahnya. Karena selain menghilangkan harga dirinya, terkadang si pemilik rumah tidak menyukainya.
- Berakhlak mulia dalam berbicara dan menghindari perbuatan-perbuatan dosa yang ditimbulkan dari lisan kita. Baik itu meng-ghibah-i orang lain atau yang lainnya.
- Tidak membawa seseorang yang tuan rumah tidak suka jika dia memasukinya.
- Tidak hasad dan iri atas kenikmatan yang ia lihat di rumahnya.
- Qana’ah dan merasa cukup dengan apa yang telah diberikan tuan rumah kepada kita.
- Tidak mencela apa pun yang ia lihat didalamnya.
- Tidak membahas hal-hal yang tidak disukai tuan rumah.
- Jangan lupa untuk saling mengingatkan dan saling berwasiat agar selalu berada di atas Al-Haq.
- Mendoakannya dan bersyukur terhadap semua kebaikan yang telah ia berikan.
- Tidak membuat bingung tuan rumah dengan gelagat kita yang kurang baik. Baik dalam berucap ataupun bertindak.
Sumber: Majalah Qudwah Edisi 11 Vol. 1 1434 H/2013 M halaman 4 – 11.
Posting Komentar untuk "Meraih Mahabbah dengan Ziarah"