Kisah Muallaf Suku Terasing Lauje
Bismillahirrahmanirrohim
KABAR TENTANG PARA MUALLAF
Pada akhir bulan Muharram 1435 H
yang lalu, ada seorang teman dari Poso mengabarkan tentang masuk
islamnya beberapa orang suku terasing di Desa Dongkalan Kecamatan Palasa
Kabupaten Parigi Moutong (PARIMO) Sulawesi Tengah. Mereka adalah suku
terasing Lauje atau yang lebih dikenal oleh warga setempat dengan
sebutan “Orang Bela”. Walaupun Bapak Bupati PARIMO lebih menganjurkan
untuk memanggil mereka dengan sebutan “Orang La Uje Asli”, agar lebih
menghargai mereka. Karena kegiatan misionaris Canada (Amerika),
mayoritas mereka sudah di kristenkan. Mereka mendiami pegunungan Pantai
Timur (istilah untuk wilayah pesisir timur provinsi Sulawesi Tengah).
Alhamdullillah ada beberapa orang dari mereka yang tersentuh hidayah
untuk memeluk Islam, sehingga mereka pun menjadi muallaf.
Para muallaf ini sangat membutuhkan
bimbingan demi memperkuat keimanan mereka. “Kami tidak ingin berislam
sekedar islam KTP”, kata salah satu muallaf. Akan tetapi sayang, mereka
belum mendapatkan penanganan serius. Kondisi ini sangat di khawatirkan
membuat mereka akan kembali lagi kepada kekafiran. Karena sudah banyak
warga muallaf yang tidak terbina, akhirnya mereka pun murtad kembali.
PERJALANAN MENUJU KAMPUNG MUALLAF
Mendengar
berita masuk Islamnya beberapa orang suku terasing tersebut, sejumlah
da’i Ahlus Sunnah di Poso dan Palu, merasa terpanggil untuk berangkat
menemui para muallaf tersebut. Jarak dari Poso menuju menuju kecamatan
Palasa itu sekitar 300 km, kalau dari palu sekitar 200 km. Rombongan
Poso sepakat untuk bertemu dengan rombongan Palu di kota Parigi, lalu
mereka bersama-sama menuju kecamatan Palasa.
Dengan bermodalkan nomor HP, pada pukul
14.30 WITA rombongan pun meluncur dari Parigi menuju tempat tinggal para
muallaf tersebut. Pada pukul 18.30 WITA rombongan sudah tiba di desa
Dongkalan. Kemudian rombongan langsung di sambut ramah oleh Pak Arsyad
(yang lebih akrab disapa Pak Acat). Seorang warga desa Dongkalan yang
sering berinteraksi dengan orang-orang Bela. Dari Pak Acat inilah
informasi awal tentang para muallaf ini didapat.
BEBERAPA ORANG BELA MENJADI MUALLAF
Setiap hari sabtu (hari pasaran
Dongkalan) beberapa Orang Bela selalu turun membawa barang dagangan dari
gunung, seperti kayu manis, rotan, bawang merah dan hasil bumi lainnya
untuk di jual di pasar. Uang yang didapat, mereka pakai untuk membeli
ikan asin, garam, minyak goreng dan keperluan lainnya.
Sehari sebelum hari pasar, banyak orang
bela yang turun dan berinteraksi dengan kaum muslimin, termasuk pak
Arsyad. Dengan sebab interaksi tersebut, sebagian mereka akhirnya masuk
islam. Mereka memilih masuk Islam tanpa paksaan. Mereka pun masuk Islam
dengan dibimbing Pak Imam Masjid setempat mengucapkan dua kalimat
syahadat lalu dimandikan oleh Pak Imam Masjid. Sebagian mereka juga
masuk Islam lantaran pernikahan mereka dengan beberapa warga muslim di
sekitar desa Dongkalan.
Akan tetapi setelah keislaman tersebut,
mereka tidak mendapatkan pembinaan lanjutan dari tokoh setempat,
sehingga keadaan mereka sangat memprihatinkan. Kebanyakan mereka belum
mengerti sholat, puasa dan amal ibadah lainnya. Ada yang sudah masuk
Islam sejak satu atau dua tahun lalu, akan tetapi masih belum mengerti
shalat, puasa dan dasar-dasar Islam lainnya. Bahkan penulis menemui, ada
seorang yang masih terbata-bata dalam mengucapkan dua kalimat syahadat.
“Kami baru bersyahadat satu kali saja pak“ ujar salah satu muallaf.
Jumlah para muallaf desa Dongkalan hingga sekarang ada 18 keluarga atau
sekitar 60 jiwa, yang semuanya membutuhkan bimbingan. Kehidupan mereka
yang di bawah garis kemiskinan membuat mereka sangat rawan untuk kembali
murtad keajaran agama nasrani.
SEORANG MANTAN PENGINJIL YANG MENJADI MUALLAF
Setibanya rombongan di rumah pak Acat,
beliau langsung menelepon salah satu muallaf untuk turun kerumah beliau.
Sepulang dari Sholat Isya, rombongan sudah mendapati dua orang duduk di
teras rumah pak Acat. Mereka langsung menyalami keduanya, Pak Andi dan
Pak Asmin namanya. Pak Andi adalah seorang mantan Penginjil yang baru
satu pekan masuk islam.
Beliau sempat mengenyam pelatihan
Penginjil di Manado selama sebulan. Dahulu pak Andi berganti-gantian
memimpin kebaktian jemaat Solongan bersama pendeta. Karena beliau lancar
berbahasa Indonesia, juga pandai baca tulis, maka beliau sering
mendampingi para tamu dari kalangan pendeta dan tokoh nasrani yang
datang ke dusun Solongan.
Adapun pak Asmin, beliau sudah berislam
sejak lahir, hanya saja isteri beliau adalah seorang muallaf. Dalam
kesempatan berjumpa dengan muallaf itu salah seorang rombongan
menawarkan untuk menyampaikan beberapa ajaran Islam. Keduanyapun
mengiyakan. Maka sambil berbincang santai, salah seorang diantara mereka
menyampaikan makna dua kalimat syahadat secara ringkas, juga rukun
islam lainnya, tata cara bersuci dan beberapa adab Islam lainnya.
Dua orang tersebut mendengarkan dengan
seksama. Bahkan pak Andi sempat merekam beberapa penjelasan tersebut
dengan HP-nya. Dengan harapan bisa didengar ulang nanti di rumahnya.
Kemudian mereka menyampaikan kepada pak Andi, rencana akan naik ke
gunung besok pagi Insya Allah. Rencana tersebut di sambut baik Pak Andi,
bahkan beliau meminta diadakan pengajaran Islam di gunung untuk warga
muallaf lainnya.
Tidak beberapa lama, datanglah Pak
Sekdes dan Pak Ketua P2N, maka pembicaraan beralih ke topik kondisi
orang-orang Bela. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul; 22.30 WITA,
maka kedua orang Bela tersebut berpamitan untuk pulang kerumahnya di
gunung.
SEMANGAT BELAJAR SEORANG MUALLAF
Walaupun malam mulai larut, pak Andi dan
pak Asmin tetap berangkat pulang ke gunung. Dengan menaiki sebuah motor
bebek, keduanya menaiki jalan terjal di kegelapan malam sejauh 8 km
untuk sampai di rumahnya. Setibanya di rumah, pak Andi bukannya langsung
tidur, akan tetapi malah membangunkan keluarganya yang sudah tertidur.
“Bangun-bangun, ini ada rekaman pelajaran agama islam dari Pak Ustad.
Mari kita dengarkan!” Akhirnya mereka pun bangun dan mendengarkan
rekaman tersebut. Pak Andi mengatakan. “Kami mengulang-ulang
mendengarkan rekaman tersebut hingga jam 2 malam, baru kami tidur.“
(Waktu itu isteri pak Andi masih Nasrani, dengan ijin Allah beberapa
pekan kemudian masuk islam walhamdulillah). Masya Allah, demikianlah
semangat seorang muallaf yang ingin mengetahui ajaran islam. Semoga
Allah mengokohkan iman pak Andi sekeluarga.
Besok harinya, masih pagi-pagi sekali,
Pak Andi dan Pak Asmin berjalan naik turun bukit untuk menyampaikan
undangan ta’lim kepada para muallaf lainnya yang akan dilaksanakan di
Ruang Kelas SD terpencil Punsung Lemo.
TA’LIM BERSAMA PARA MUALLAF
Pagi harinya, sekitar jam 08.00 WITA, rombongan naik ke SD Punsung Lemo guna bertemu langsung
dengan para muallaf. Perjalanan ke sana dengan menggunakan motor ojek.
Mengingat medan yang terjal, dengan tinggi gunung sekitar 1500 meter di
atas permukaan laut dan jarak yang lumayan jauh, yaitu 8 km, maka
tarifnya pun menyesuaikan. Untuk pulang pergi tukang ojek memasang tarif
Rp. 70.000-, untuk sekali antar Rp. 40.000-. Setelah menaiki banyak
tanjakan, tak terlihat perkumpulan rumah layaknya perkampungan. Akan
tetapi yang terlihat rumah-rumah yang terpencar diantara kebun yang
terjal. Jarang sekali didapati tanah yang rata. Itulah tempat tinggal
mereka, layaknya gubuk-gubuk tempat beristirahat dikebun. Hanya saja
mereka telah mendapatkan bantuan dari pemerintah, sehingga atapnya sudah
terbuat dari seng dan dindingnya papan. Adapun rumah mereka yang masih
asli berdindingkan kulit kayu dan beratapkan daun rotan, dalam keadaan
tidak menggunakan paku tapi diikat dengan rotan. Akhirnya rombongan tiba
di SD Terpencil Punsung Lemo. Terlihat sekumpulan warga yang berjalan
menaiki bukit. Merekalah para muallaf yang hendak menghadiri ta’lim di
SD Punsung Lemo. Diantara mereka juga ada warga Bela yang memang sudah
muslim sejak lahir. Tidak lama merekapun masuk ke ruangan kelas untuk
mendengarkan ta’lim. Disampaikan saran, agar jama’ah wanita dipisah di
ruang sebelahnya, dan merekapun memahaminya. Sementara anak-anak mereka
bermain di halaman sekolah. Kemudian ta’limpun di mulai, salah satu dari
rombongan menyampaikan beberapa materi kajian islam : Makna dan
Keutamaan dua kalimat syahadat, rukun islam, tata cara thaharah,
berwudhu, tata cara sholat dan beberapa adab islam lainnya. Setiap 4
atau 5 menit penyampaian materi, Pak Andi menerjemahkannya ke bahasa
Lauje, karena memang kebanyakan mereka belum paham Bahasa Indonesia.
Alhamdulillah mereka mendengarkan dengan
seksama. Seusai ta’lim, salah satu dari rombongan membagi-bagi mie
instan kepada muallaf.
KRISTENISASI DI KEC. TINOMBO, KEC PALASA DAN SEKITARNYA
Menurut warga, misionaris dari Canada
Amerika sudah melakukan misi kristenisasi di Pantai Timur sejak sekitar
tahun 40-an. Awal mulanya ada beberapa penginjil bule yang datang ke
kecamatan Tinombo (sebelah kec. Palasa). Mereka meminta salah seorang
guru bahasa inggris di sebuah sekolah setempat untuk menuliskan kamus
Inggris-Lauje. Akhirnya mereka menguasai bahasa Lauje. Mereka kemudian
menerjemahkan injil ke dalam bahasa lauje. Para penginjil Canada
tersebut tinggal bertahun-tahun di pegunungan suku terasing La uje.
Dahulu mereka sempat menggunakan helikopter untuk menjangkau
daerah-daerah terpencil dalam menjalankan misi kristenisasi.
(Alhamdulillah, sekarang helikopter tersebut sudah tidak terlihat lagi,
wallahu a’lam apa sebabnya). Setelah itu mereka mulai mendekati beberapa
tokoh dan kepala suku orang Bela. Dengan diiming-imingi pakaian dan
makanan mereka berhasil mengkristenkan tokoh-tokoh orang Bela tersebut.
Ketika kepala sukunya sudah masuk Kristen, maka dengan mudah
masyarakatnya pun ikut masuk Kristen. Lebih-lebih mereka juga
membagi-bagikan beras dan pakaian kepada masyarakat gunung tersebut.
Beberapa kepala suku yang berhasil
mereka rekrut ada yang dikirim ke Canada, Amerika. Akhirnya kepala suku
tersebut menjadi pendeta dan penginjil di gunung. Beberapa Pemuda/pemudi
orang Bela juga mereka kirim ke Perguruan Theology, seperti ke Manado,
Tentena (Poso) atau tempat lainnya, yang akhirnya mereka pulang menjadi
pendeta di gunung.
PEMBANGUNAN GEREJA ILEGAL
Sekitar 3 tahun lalu, masyarakat Desa
Dongkalan sedang disibukkan dengan kerja bakti membangun pasar
Dongkalan. Mereka hampir tidak pernah naik ke kebun di gunung. Ternyata
secara diam-diam, para penginjil Pantekosta di dusun Pungsu membangun
sebuah gereja, tanpa seijin pemerintah dan warga setempat. Warga
dikagetkan dengan adanya undangan kebaktian dari seorang pendeta
perempuan bernama Selvi. Warga bertambah kaget lagi ketika jemaat gereja
yang datang itu ternyata dari luar daerah, seperti dari tentena (Poso),
Bondoyong (Tinombo), dan Manado.
Warga sangat tersinggung dengan
perbuatan para penginjil tersebut. Spontan warga langsung naik ke gunung
dan merobohkan gereja illegal tersebut. Konon kabarnya, gereja tersebut
adalah gereja terbesar di kecamatan tersebut. Tidak lama kemudian Pak
Danramil, Pak Camat dan Pak Kades naik ke lokasi. Mereka juga
menyalahkan tindakan para penginjil tersebut yang membangun gereja tanpa
izin Pemerintah dan warga setempat.
AKHIRNYA PENDETA MUDA ITU MASUK ISLAM
Para penginjil itu ternyata sudah
menyiapkan seorang pendeta muda perempuan untuk memimpin jemaat gereja
pantekosta di dusun Pungsu. Adalah Arina, seorang gadis belia suku Bela
yang telah mereka kirim ke sebuah sekolah Theology di Manado. Dia
mengenyam pendidikan Pendeta sekitar 3 Tahun di Manado. Mereka
harap-harap Arina bisa melanjutkan misi di dusun Pungsu, akan tetapi
Allah Subhanahu wa Ta’ala musnahkan impian mereka.
Walaupun Gereja illegal tersebut sudah
dirobohkan warga, Pendeta Selvi masih ngotot terus melakukan kebaktian
di rumah seorang warga. Hanya saja Pendeta Arina sudah tidak begitu
aktif memimpin jemaat lagi. Entah apa yang menyebabkan pendeta Arina
tidak aktif memimpin jemaat. Karena kevakumannya, Pendeta Selvi sempat
memukul Pendeta Arina. Kurang lebih dua bulan yang lalu, kaum muslimin
Dongkalan mendapat kabar gembira dengan masuk islamnya Pendeta muda
Arina, menyusul dua kakaknya yang terlebih dahulu masuk islam. Ada
seorang pria muslim dari dusun Tingkulang yang mempersunting mantan
Pendeta Arina. Akhirnya mereka berdua dinikahkan oleh Pak Imam Masjid
setempat. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah keimanan beliau.
Hanya saja mantan pendeta Arina sekarang berpindah ikut suaminya tinggal
di Tingkulang.
KEINGINAN MEMBANGUN MASJID
Para
muallaf sangat mendambakan berdirinya sebuah masjid di Dusun
Pungsu-Solongan. Mereka sangat menginginkan bisa belajar islam bersama
anak-anak dan istri mereka di mesjid tersebut, akan tetapi karena kurang
mendapat dukungan dari pihak-pihak terkait, keinginan mulia ini belum
tercapai.
Sepulangnya rombongan para da’i Ahlus
Sunnah tersebut dari kampung muallaf itu, mereka terus menyampaikan
kabar tentang kondisi para muallaf tersebut kepada kaum muslimin di
Poso, Parigi dan Palu. Alhamdulillah Allah gerakkan hati kaum muslimin
untuk membantu para muallaf dalam meraih cita-cita mulia tersebut. Tidak
lama, terkumpullah belasan karung pakaian pantas pakai serta sejumlah
dana dakwah dan pembangunan Masjid. Sekarang program pembangunan masjid
kayu dengan ukuran 8 x 8 m masih berlangsung. Kerangka bangunan dan
atap seng sudah terpasang. Karena keterbatasan tenaga tukang,
pembangunan belum berlanjut. Tahap selanjutnya adalah pemasangan lantai
kayu dan dinding kayu.
PROGRAM DAKWAH YANG LAINNYA
A. Rencana pengadaan sarana MCK dan
tempat wudhu dan pengadaan air bersih. Mengingat langkanya sumber air,
pengadaan air bersih rencana diambil dari sebuah mata air di bukit yang
berjarak sekitar 600 m. Sehingga dibutuhkan slang air sebanyak 12 rol
dan dua buah tandon penampungan air.
B. Program pemberangkatan 5 guru ngaji
setiap pekan sekali bergiliran. Mengingat jarak Poso-Palasa sekitar
300km, maka dibutuhkan biaya akomodasi para ikhwah pengajar mengaji.
Demikian pula ikhwah Palu dan Parigi juga akan bergiliran mengajar
mengaji insya Allah.
C. Program pembagian santunan rutin
(bulanan) kepada 18 keluarga Muallaf. Mengingat banyaknya isu fitnah
yang ditebarkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Beberapa
keluarga muallaf ada yang terhasut dan tidak mau menghadiri ta’lim lagi.
Maka dakwah kepada mereka dilanjutkan dalam bentuk bantuan santunan
rutin, atau pembagian sembako dalam rangka melembutkan hati-hati mereka.
Tatkala penulis menyerahkan santunan sejumlah uang kepada seorang
muallaf terlihat matanya berkaca-kaca. Mengingat sampai sekarang, belum
ada santunan rutin yang diberikan kepada tiap-tiap keluarga muallaf,
selain pembagian pakaian pantas pakai, sabun dan garam dapur, itupun
baru terlaksana satu kali. Dan juga demi meredam berbagai isu fitnah,
program santunan juga ditujukan kepada beberapa tokoh adat, kepala dusun
(orang bela yang sudah muslim sejak lahir), akan tetapi hidup mereka
juga dibawah garis kemiskinan.
D. Program biaya belajar santri Lauje.
Alhamdulillah ada dua santri muallaf yang sudah dikirim ke Poso untuk
belajar di ma’had Al-Manshuroh dan Pra Tahfizh Poso. Insya Allah ada
beberapa anak muallaf lainnya yang ingin menyusul mereka untuk belajar
Islam di Poso.
E. Diantara program dakwah juga adalah
pembebasan tanah dan pembangunan beberapa unit rumah kayu untuk beberapa
orang Bela yang ingin belajar Islam ke dekat masjid. Adalah Aji,
seorang muallaf yang tinggal di dusun Silongkohung. Kalau mau ke lokasi
masjid, dia mesti berjalan kaki sekitar empat puluh menit. Dia sangat
menginginkan berpindah ke dekat masjid agar lebih intensif belajar
Islam. Hanya saja karena terkendala biaya, Aji masih belum bisa
membangun rumah dekat masjid. Selain Aji, masih ada beberapa warga Bela
yang menginginkan mendekat ke lokasi Masjid.
F. Program pembinaan pertanian untuk peningkatan taraf hidup masyarakat Bela.
PERIJINAN DAKWAH KEPADA PARA MUALLAF
Sudah menjadi prinsip dakwah
Ahlussunnah, bahwasanya setiap langkah dakwahnya selalu berkoordinasi
dengan pemerintah, sebagai bentuk ketaatan kepada Pemerintah dalam hal
ma’ruf. Para da’i yang hendak berdakwah kepada para muallaf ini menemui
kepala desa Dongkalan, pak Camat dan Kapolsek Palasa. Para pejabat
tersebut secara umum mendukung program mulia ini. Proses perijinan pun
dilanjutkan ke tingkat atasnya dengan menghadap ke Kapolres Parimo,
Sekretaris Daerah Kab. Parimo dan kepala Departemen Agama Parimo. Dengan
kemudahan dari Allah surat ijin kegiatan Dakwah dari Polres dan Depag
Kab. Parimo telah keluar. Para da’i pun senantiasa berkoordinasi dengan
pemerintah setempat dalam menjalankan dakwahnya.
Demikian gambaran singkat agenda dakwah
kepada para muallaf suku terasing Lauje. Tentunya program ini
membutuhkan uluran tangan dari kaum mukminin. Bagi kaum mukminin yang
ingin berinfaq demi kelanjutan dakwah kepada para muallaf, infaq dapat
disalurkan melalui :
Bank BRI Poso No Rek : 0072-01-006008-53-0
a.n Sarmin Paroso.
Atau Bank Syariah Mandiri Poso No Rek : 70-699-3950-8
a.n Atjo Ishak Andi Mapatoba.
Contact Person : HP 0852-41098-250, 0852-41480-960.
Untuk bantuan pakaian pantas pakai, bisa dikirim ke Masjid Babul Iman Jl. KH. Abdul Wahab lorong Srigading Kel. Sayo. Poso.
Kepada para muhsinin, kami ucapkan Jazaakumullah khairan.
==============================================
SEKILAS TENTANG KAMPUNG MUALLAF
Dusun Solongan dan Pungsu, adalah dua
dusun yang bersebelahan, keduanya masih dibawah pemerintahan Desa
Dongkalan. Solongan berjarak sekitar 8 km dari jalan poros, sementara
Pungsu terletak dibawah solongan. Mayoritas warga Solongan beragama
Nasrani, sementara Pungsu lebih banyak kaum musliminnya. Di kedua dusun
inilah para Muallaf itu tinggal. Warga Bela di sana hidup dari sektor
pertanian. Secara geografis kedua dusun tersebut terletak diatas
perbukitan terjal dan berbatu. Lereng-lereng gunung yang sangat terjal
mereka olah menjadi kebun-kebun. Mereka bercocok tanam ubi, singkong,
padi ladang, bawang, cabai, coklat atau cengkih. Pengetahuan mereka
tentang pertanian sangat minim, sehingga hasil panennya pun sangat
terbatas. Hal inilah yang melatar belakangi program pembinaan pertanian
kepada mereka demi lebih menambah produktivitas hasil pertanian. Makanan
pokok mereka adalah talas, ubi, singkong kadang nasi. Ubi atau singkong
terkadang dibakar, atau direbus. Lauk yang paling mereka sukai adalah
ikan asin, kalau tidak ada ikan asin mereka makan dengan lauk garam
dicampur cabai.
SEKILAS TENTANG DUSUN SALAMAYANG
Salamayang adalah dusun yang sangat
terpencil, hanya bisa di tempuh dengan berjalan kaki selama setengah
hari bagi Orang Bela yang sudah biasa. Adalah pak Nani Hati, beliau
adalah warga Salamayang yang sudah masuk Islam dua tahun lalu. Hanya
saja, beliau masih belum mengenal islam. Anak-anak dan isterinya masih
belum dibimbing bersyahadat oleh pak Imam Dongkalan. Beliau adalah
satu-satunya guru Sekolah di sana. Sekolah yang beliau kelola hanya
beratap terpal, berlantai papan, tanpa ada dindingnya. Jumlah siswanya
120 orang. Di sana ada 400 KK atau sekitar 3000 jiwa yang mayoritasnya
masih beragama Nasrani. Hanya saja kegiatan gereja sekarang sudah tidak
aktif lagi. Dahulu pernah ada pendeta bule Canada yang tinggal menetap
disana. Akan tetapi karena suatu kasus akhirnya dia diusir dari
Salamayang. Pak Nani Hati menjelaskan, kalau warga Salamayang disentuh
dengan bantuan-bantuan insya Allah mereka bisa diajak masuk Islam.
Beliau siap menjembatani untuk sampainya program dakwah kepada suku
terasing disana. Dari sisi mata pencaharian, mayoritas warga Salamayang
bercocok tanam bawang merah. Bagi yang pernah berkunjung ke Palu,
mungkin sudah mengenal oleh-oleh Bawang Goreng renyah. Dari
Salamayanglah asalnya bawang goreng tersebut di tanam. Mereka berjalan
selama setengah hari memikul hasil panennya dari Salamayang menuju
pasar. Terkadang bawang hasil panen mereka muat dengan rakit menyusuri
sungai Palasa menuju jalan raya.
Keadaan Salamayang yang sangat terpencil
tersebut membuat petugas pemerintah merasa kesulitan dalam membina
mereka. Pembinaan dari para misionaris kristen yang sempat menyentuh
mereka sehingga mereka sekarang memeluk agama Kristen.
KEINGINAN MASUK ISLAM YANG TIDAK TERSAMPAI
Ada seorang warga Solongan, pak Tahar
namanya, beliau pernah bertemu dengan sepuluh laki-laki warga Salamayang
yang baru pulang dari kampung di bawah. Ketika ditanya apa hajat mereka
dari kampung di bawah, mereka menjawab, “Kami ada 10 keluarga ingin
masuk Islam, akan tetapi tidak ada tanggapan dari pak Imam.” Sehingga 10
keluarga ini dengan penuh kesedihan pulang ke Salamayang tidak jadi
masuk Islam. Sungguh ironis, sepuluh keluarga tersebut tidak tersalurkan
hajatnya untuk memeluk islam. Semoga Allah mempertemukan mereka dengan
hidayah.
Demikianlah gambaran singkat kisah
muallaf suku terasing Lauje. Semoga Allah memberikan keteguhan Iman dan
keistiqomahan kepada mereka semua. Amiin.
Posting Komentar untuk "Kisah Muallaf Suku Terasing Lauje"