Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Muallaf Suku Terasing Lauje


Bismillahirrahmanirrohim
KABAR TENTANG PARA MUALLAF


Pada akhir bulan Muharram 1435 H yang lalu, ada seorang teman dari Poso mengabarkan   tentang masuk islamnya beberapa orang suku terasing di Desa Dongkalan Kecamatan Palasa Kabupaten Parigi Moutong (PARIMO) Sulawesi Tengah. Mereka adalah suku terasing Lauje atau yang lebih dikenal oleh warga setempat dengan sebutan “Orang Bela”. Walaupun Bapak Bupati PARIMO lebih menganjurkan untuk memanggil mereka dengan sebutan “Orang La Uje Asli”, agar lebih menghargai mereka. Karena kegiatan misionaris Canada (Amerika), mayoritas mereka sudah di kristenkan. Mereka mendiami pegunungan Pantai Timur (istilah untuk wilayah pesisir timur provinsi Sulawesi Tengah). Alhamdullillah ada beberapa orang dari mereka yang tersentuh hidayah untuk memeluk Islam, sehingga mereka pun menjadi muallaf.

Para muallaf ini sangat membutuhkan bimbingan demi memperkuat keimanan mereka. “Kami tidak ingin berislam sekedar islam KTP”, kata salah satu muallaf. Akan tetapi sayang, mereka belum mendapatkan penanganan serius. Kondisi ini sangat di khawatirkan membuat mereka akan kembali lagi kepada kekafiran. Karena sudah banyak warga muallaf yang tidak terbina, akhirnya mereka pun murtad kembali.

PERJALANAN MENUJU KAMPUNG MUALLAF
Mendengar berita masuk Islamnya beberapa orang suku terasing tersebut, sejumlah da’i  Ahlus Sunnah di Poso dan Palu, merasa terpanggil untuk berangkat menemui para muallaf tersebut. Jarak dari Poso menuju menuju kecamatan Palasa itu sekitar 300 km, kalau dari palu sekitar 200 km. Rombongan Poso sepakat untuk bertemu dengan rombongan Palu di kota Parigi, lalu mereka bersama-sama menuju kecamatan Palasa.

Dengan bermodalkan nomor HP, pada pukul 14.30 WITA rombongan pun meluncur dari Parigi menuju tempat tinggal para muallaf tersebut. Pada pukul 18.30 WITA rombongan sudah tiba di desa Dongkalan. Kemudian rombongan langsung di sambut ramah oleh Pak Arsyad (yang lebih akrab disapa Pak Acat). Seorang warga desa Dongkalan yang sering berinteraksi dengan orang-orang Bela. Dari Pak Acat inilah informasi awal tentang para muallaf ini didapat.

BEBERAPA ORANG BELA MENJADI MUALLAF
Setiap hari sabtu (hari pasaran Dongkalan) beberapa Orang Bela selalu turun membawa barang dagangan dari gunung, seperti kayu manis, rotan, bawang merah dan hasil bumi lainnya untuk di jual di pasar. Uang yang didapat, mereka pakai untuk membeli ikan asin, garam, minyak goreng dan keperluan lainnya.

Sehari sebelum hari pasar, banyak orang bela yang turun dan berinteraksi dengan kaum muslimin, termasuk pak Arsyad. Dengan sebab interaksi tersebut, sebagian mereka akhirnya masuk islam. Mereka memilih masuk Islam tanpa paksaan. Mereka pun masuk Islam dengan dibimbing Pak Imam Masjid setempat mengucapkan dua kalimat syahadat lalu dimandikan oleh Pak Imam Masjid. Sebagian mereka juga masuk Islam lantaran pernikahan mereka dengan beberapa warga muslim di sekitar desa Dongkalan.

Akan tetapi setelah keislaman tersebut, mereka tidak mendapatkan pembinaan lanjutan dari tokoh setempat, sehingga keadaan mereka sangat memprihatinkan. Kebanyakan mereka belum mengerti  sholat, puasa dan amal ibadah lainnya. Ada yang sudah masuk Islam sejak satu atau dua tahun lalu, akan tetapi masih belum mengerti shalat, puasa dan dasar-dasar Islam lainnya. Bahkan penulis menemui, ada seorang yang masih terbata-bata dalam mengucapkan dua kalimat syahadat. “Kami baru bersyahadat satu kali saja pak“ ujar salah satu muallaf. Jumlah para muallaf  desa Dongkalan hingga sekarang ada 18 keluarga atau sekitar 60 jiwa, yang semuanya membutuhkan bimbingan. Kehidupan mereka yang di bawah garis kemiskinan membuat mereka sangat rawan untuk kembali murtad keajaran agama nasrani.

SEORANG MANTAN PENGINJIL YANG MENJADI MUALLAF
Setibanya rombongan di rumah pak Acat, beliau langsung menelepon salah satu muallaf untuk turun kerumah beliau. Sepulang dari Sholat Isya, rombongan sudah mendapati dua orang duduk di teras rumah pak Acat. Mereka langsung menyalami  keduanya, Pak Andi dan Pak Asmin namanya. Pak Andi adalah seorang mantan Penginjil yang baru satu pekan masuk islam.

Beliau sempat mengenyam pelatihan Penginjil di Manado selama sebulan. Dahulu pak Andi berganti-gantian memimpin kebaktian jemaat Solongan bersama pendeta. Karena beliau lancar berbahasa Indonesia, juga pandai baca tulis, maka beliau sering mendampingi para tamu dari kalangan pendeta dan tokoh nasrani yang datang ke dusun Solongan.

Adapun pak Asmin, beliau sudah berislam sejak lahir, hanya saja isteri beliau adalah seorang muallaf. Dalam kesempatan berjumpa dengan muallaf itu salah seorang rombongan menawarkan untuk menyampaikan beberapa ajaran Islam. Keduanyapun mengiyakan. Maka sambil berbincang santai, salah seorang diantara mereka menyampaikan makna dua kalimat syahadat secara ringkas, juga rukun islam lainnya, tata cara bersuci dan beberapa adab Islam lainnya.

Dua orang tersebut mendengarkan dengan seksama. Bahkan pak Andi sempat merekam beberapa penjelasan tersebut dengan HP-nya. Dengan harapan bisa didengar ulang nanti di rumahnya. Kemudian mereka  menyampaikan kepada pak Andi, rencana akan naik ke gunung besok pagi Insya Allah. Rencana tersebut di sambut baik Pak Andi, bahkan beliau meminta diadakan pengajaran Islam di gunung untuk warga muallaf lainnya.

Tidak beberapa lama, datanglah Pak Sekdes dan Pak Ketua P2N, maka pembicaraan beralih ke topik kondisi orang-orang Bela. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul; 22.30 WITA, maka kedua orang Bela tersebut berpamitan untuk pulang kerumahnya di gunung.

SEMANGAT BELAJAR SEORANG MUALLAF
Walaupun malam mulai larut, pak Andi dan pak Asmin tetap berangkat pulang ke gunung. Dengan menaiki sebuah motor bebek, keduanya menaiki jalan terjal di kegelapan malam sejauh 8 km untuk sampai di rumahnya. Setibanya di rumah, pak Andi bukannya langsung tidur, akan tetapi malah membangunkan keluarganya yang sudah tertidur. “Bangun-bangun, ini ada rekaman pelajaran agama islam dari Pak Ustad. Mari kita dengarkan!” Akhirnya mereka pun bangun dan mendengarkan rekaman tersebut. Pak Andi mengatakan. “Kami mengulang-ulang mendengarkan rekaman tersebut hingga jam 2 malam, baru kami tidur.“ (Waktu itu isteri pak Andi masih  Nasrani, dengan ijin Allah beberapa pekan kemudian masuk islam walhamdulillah). Masya Allah, demikianlah semangat seorang muallaf yang ingin mengetahui ajaran islam. Semoga Allah mengokohkan iman pak Andi sekeluarga.

Besok harinya, masih pagi-pagi sekali, Pak Andi dan Pak Asmin berjalan naik turun bukit untuk menyampaikan undangan ta’lim kepada para muallaf lainnya yang akan dilaksanakan di Ruang Kelas SD terpencil Punsung Lemo.

TA’LIM BERSAMA PARA MUALLAF
Pagi harinya, sekitar jam 08.00 WITA, rombongan naik ke SD Punsung Lemo guna bertemu langsung dengan para muallaf. Perjalanan ke sana dengan menggunakan motor ojek. Mengingat medan yang terjal, dengan tinggi gunung sekitar 1500 meter di atas permukaan laut dan jarak yang lumayan jauh, yaitu 8 km, maka tarifnya pun menyesuaikan. Untuk pulang pergi tukang ojek memasang tarif Rp. 70.000-, untuk sekali antar Rp. 40.000-. Setelah menaiki banyak tanjakan, tak terlihat perkumpulan rumah layaknya perkampungan. Akan tetapi yang terlihat rumah-rumah yang terpencar diantara kebun yang terjal. Jarang sekali didapati tanah yang rata. Itulah tempat tinggal mereka, layaknya gubuk-gubuk tempat beristirahat dikebun. Hanya saja mereka telah mendapatkan bantuan dari pemerintah, sehingga atapnya sudah terbuat dari seng dan dindingnya papan. Adapun rumah mereka yang masih asli berdindingkan kulit kayu dan beratapkan daun rotan, dalam keadaan tidak menggunakan paku tapi diikat dengan rotan. Akhirnya rombongan tiba di SD Terpencil Punsung Lemo. Terlihat sekumpulan warga yang berjalan menaiki bukit. Merekalah para muallaf yang hendak menghadiri ta’lim di SD Punsung Lemo. Diantara mereka juga ada warga Bela yang memang sudah muslim sejak lahir. Tidak lama merekapun masuk ke ruangan kelas untuk mendengarkan ta’lim. Disampaikan saran, agar jama’ah wanita dipisah di ruang sebelahnya, dan merekapun memahaminya. Sementara anak-anak mereka bermain di halaman sekolah. Kemudian ta’limpun di mulai, salah satu dari rombongan menyampaikan beberapa materi kajian islam : Makna dan Keutamaan dua kalimat syahadat, rukun islam, tata cara thaharah, berwudhu, tata cara sholat dan beberapa adab islam lainnya. Setiap 4 atau 5 menit penyampaian materi, Pak Andi menerjemahkannya ke bahasa Lauje, karena memang kebanyakan mereka belum paham Bahasa Indonesia.

Alhamdulillah mereka mendengarkan dengan seksama. Seusai ta’lim, salah satu dari rombongan membagi-bagi mie instan kepada muallaf.

KRISTENISASI DI KEC. TINOMBO, KEC PALASA DAN SEKITARNYA
Menurut warga, misionaris dari Canada Amerika sudah melakukan misi kristenisasi di Pantai Timur sejak sekitar tahun 40-an. Awal mulanya ada beberapa penginjil bule yang datang ke kecamatan Tinombo (sebelah kec. Palasa). Mereka meminta salah seorang guru bahasa inggris di sebuah sekolah setempat untuk menuliskan kamus Inggris-Lauje. Akhirnya mereka menguasai bahasa Lauje. Mereka kemudian menerjemahkan injil ke dalam bahasa lauje. Para penginjil Canada tersebut tinggal bertahun-tahun di pegunungan suku terasing La uje. Dahulu mereka sempat menggunakan helikopter untuk menjangkau daerah-daerah terpencil dalam menjalankan misi kristenisasi. (Alhamdulillah, sekarang helikopter tersebut sudah tidak terlihat lagi, wallahu a’lam apa sebabnya). Setelah itu mereka mulai mendekati beberapa tokoh dan kepala suku orang Bela. Dengan diiming-imingi pakaian dan makanan mereka berhasil mengkristenkan tokoh-tokoh orang Bela tersebut. Ketika kepala sukunya sudah masuk Kristen, maka dengan mudah masyarakatnya pun ikut masuk Kristen. Lebih-lebih mereka juga membagi-bagikan beras dan pakaian kepada masyarakat gunung tersebut.

Beberapa kepala suku yang berhasil mereka rekrut ada yang dikirim ke Canada, Amerika. Akhirnya kepala suku tersebut menjadi pendeta dan penginjil di gunung. Beberapa Pemuda/pemudi orang Bela juga mereka kirim ke Perguruan Theology, seperti ke Manado, Tentena (Poso) atau tempat lainnya, yang akhirnya mereka pulang menjadi pendeta di gunung.

PEMBANGUNAN GEREJA ILEGAL
Sekitar 3 tahun lalu, masyarakat Desa Dongkalan sedang disibukkan dengan kerja bakti membangun pasar Dongkalan. Mereka hampir tidak pernah naik ke kebun di gunung. Ternyata secara diam-diam, para penginjil Pantekosta di dusun Pungsu membangun sebuah gereja, tanpa seijin pemerintah dan warga setempat. Warga dikagetkan dengan adanya undangan kebaktian dari seorang pendeta perempuan bernama Selvi. Warga bertambah kaget lagi ketika jemaat gereja yang datang itu ternyata dari luar daerah, seperti dari tentena (Poso), Bondoyong (Tinombo), dan Manado.

Warga sangat tersinggung dengan perbuatan para penginjil tersebut. Spontan warga langsung naik ke gunung dan merobohkan gereja illegal tersebut. Konon kabarnya, gereja tersebut adalah gereja terbesar di kecamatan tersebut. Tidak lama kemudian Pak Danramil, Pak Camat dan Pak Kades naik ke lokasi. Mereka juga menyalahkan tindakan para penginjil tersebut yang membangun gereja tanpa izin Pemerintah dan warga setempat.

AKHIRNYA PENDETA MUDA ITU MASUK ISLAM
Para penginjil itu ternyata sudah menyiapkan seorang pendeta muda perempuan untuk memimpin jemaat gereja pantekosta di dusun Pungsu. Adalah Arina, seorang gadis belia suku Bela yang telah mereka kirim ke sebuah sekolah Theology di Manado. Dia mengenyam pendidikan Pendeta sekitar 3 Tahun di Manado. Mereka harap-harap Arina bisa melanjutkan misi di dusun Pungsu, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala musnahkan impian mereka.

Walaupun Gereja illegal tersebut sudah dirobohkan warga, Pendeta Selvi masih ngotot terus melakukan kebaktian di rumah seorang warga. Hanya saja Pendeta Arina sudah tidak begitu aktif memimpin jemaat lagi. Entah apa yang menyebabkan pendeta Arina tidak aktif memimpin jemaat. Karena kevakumannya, Pendeta Selvi sempat memukul Pendeta Arina. Kurang lebih dua bulan yang lalu, kaum muslimin Dongkalan mendapat kabar gembira dengan masuk islamnya Pendeta muda Arina, menyusul dua kakaknya yang terlebih dahulu masuk islam. Ada seorang pria muslim dari dusun Tingkulang yang mempersunting mantan Pendeta Arina. Akhirnya mereka berdua dinikahkan oleh Pak Imam Masjid setempat. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah keimanan beliau. Hanya saja mantan pendeta Arina sekarang berpindah ikut suaminya tinggal di Tingkulang.

KEINGINAN MEMBANGUN MASJID
Para muallaf sangat mendambakan berdirinya sebuah masjid di Dusun Pungsu-Solongan. Mereka sangat menginginkan bisa belajar islam bersama anak-anak dan istri mereka di mesjid tersebut, akan tetapi karena kurang mendapat dukungan dari pihak-pihak terkait, keinginan mulia ini belum tercapai.

Sepulangnya rombongan para da’i Ahlus Sunnah tersebut dari kampung muallaf itu, mereka terus menyampaikan kabar tentang kondisi para muallaf tersebut kepada kaum muslimin di Poso, Parigi dan Palu. Alhamdulillah Allah gerakkan hati kaum muslimin untuk membantu para muallaf dalam meraih cita-cita mulia tersebut. Tidak lama, terkumpullah belasan karung pakaian pantas pakai serta sejumlah dana dakwah dan  pembangunan Masjid. Sekarang program pembangunan masjid kayu dengan ukuran 8 x 8 m masih berlangsung. Kerangka bangunan dan atap seng sudah terpasang. Karena keterbatasan tenaga tukang, pembangunan belum berlanjut. Tahap selanjutnya adalah pemasangan lantai kayu dan dinding kayu.

PROGRAM DAKWAH YANG LAINNYA
A.  Rencana pengadaan sarana MCK dan tempat wudhu dan pengadaan air bersih. Mengingat langkanya sumber air, pengadaan air bersih rencana diambil dari sebuah mata air di bukit yang berjarak sekitar 600 m. Sehingga dibutuhkan slang air sebanyak 12 rol dan dua buah tandon penampungan air.

B.  Program pemberangkatan 5 guru ngaji setiap pekan sekali bergiliran. Mengingat jarak Poso-Palasa sekitar 300km, maka dibutuhkan biaya akomodasi para ikhwah pengajar mengaji. Demikian pula ikhwah Palu dan Parigi juga akan bergiliran mengajar mengaji insya Allah.

C.  Program pembagian santunan rutin (bulanan) kepada 18 keluarga Muallaf. Mengingat banyaknya isu fitnah yang ditebarkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Beberapa keluarga muallaf ada yang terhasut dan tidak mau menghadiri ta’lim lagi. Maka dakwah kepada mereka dilanjutkan dalam bentuk bantuan santunan rutin, atau pembagian sembako dalam rangka melembutkan hati-hati mereka. Tatkala penulis menyerahkan santunan sejumlah uang kepada seorang muallaf terlihat matanya berkaca-kaca. Mengingat sampai sekarang, belum ada santunan rutin yang diberikan kepada tiap-tiap keluarga muallaf, selain pembagian pakaian pantas pakai, sabun dan garam dapur, itupun baru terlaksana satu kali. Dan juga demi meredam berbagai isu fitnah, program santunan juga ditujukan kepada beberapa tokoh adat, kepala dusun (orang bela yang sudah muslim sejak lahir), akan tetapi hidup mereka juga dibawah garis kemiskinan.

D.  Program biaya belajar santri Lauje. Alhamdulillah ada dua santri muallaf yang sudah dikirim ke Poso untuk belajar di ma’had Al-Manshuroh dan Pra Tahfizh Poso. Insya Allah ada beberapa anak muallaf lainnya yang ingin menyusul mereka untuk belajar Islam di Poso.

E.  Diantara program dakwah juga adalah pembebasan tanah dan pembangunan beberapa unit rumah kayu untuk beberapa orang Bela yang ingin belajar Islam ke dekat masjid. Adalah Aji, seorang muallaf yang tinggal di dusun Silongkohung. Kalau mau ke lokasi masjid, dia mesti berjalan kaki sekitar empat puluh menit. Dia sangat menginginkan berpindah ke dekat masjid agar lebih intensif belajar Islam. Hanya saja karena terkendala biaya, Aji masih belum bisa membangun rumah dekat masjid. Selain Aji, masih ada beberapa warga Bela yang menginginkan mendekat ke lokasi Masjid.

F.  Program pembinaan pertanian untuk peningkatan taraf hidup masyarakat Bela.

PERIJINAN DAKWAH KEPADA PARA MUALLAF
Sudah menjadi prinsip dakwah Ahlussunnah, bahwasanya setiap langkah dakwahnya selalu berkoordinasi dengan pemerintah, sebagai bentuk ketaatan kepada Pemerintah dalam hal ma’ruf. Para da’i yang hendak berdakwah kepada para muallaf ini menemui kepala desa Dongkalan, pak Camat dan Kapolsek Palasa. Para pejabat tersebut secara umum mendukung program mulia ini. Proses perijinan pun dilanjutkan ke tingkat atasnya dengan menghadap ke Kapolres Parimo, Sekretaris Daerah Kab. Parimo dan kepala Departemen Agama Parimo. Dengan kemudahan dari Allah surat ijin kegiatan Dakwah dari Polres dan Depag Kab. Parimo telah keluar. Para da’i pun senantiasa berkoordinasi  dengan pemerintah setempat dalam menjalankan dakwahnya.

Demikian gambaran singkat agenda dakwah kepada para muallaf suku terasing Lauje. Tentunya program ini membutuhkan uluran tangan dari kaum mukminin. Bagi kaum mukminin yang ingin berinfaq demi kelanjutan dakwah kepada para muallaf, infaq dapat disalurkan melalui :

Bank BRI Poso No Rek : 0072-01-006008-53-0
a.n Sarmin Paroso.

Atau Bank Syariah Mandiri Poso No Rek : 70-699-3950-8
a.n Atjo Ishak Andi Mapatoba.

Contact Person :  HP 0852-41098-250, 0852-41480-960.

Untuk bantuan pakaian pantas pakai, bisa dikirim ke Masjid Babul Iman Jl. KH. Abdul Wahab lorong Srigading Kel. Sayo. Poso.

Kepada para muhsinin, kami ucapkan Jazaakumullah khairan.


==============================================
SEKILAS TENTANG KAMPUNG MUALLAF
Dusun Solongan dan Pungsu, adalah dua dusun yang bersebelahan, keduanya masih dibawah pemerintahan Desa Dongkalan. Solongan berjarak sekitar 8 km dari jalan poros, sementara Pungsu terletak dibawah solongan. Mayoritas warga Solongan beragama Nasrani, sementara Pungsu lebih banyak kaum musliminnya. Di kedua dusun inilah para Muallaf itu tinggal. Warga Bela di sana hidup dari sektor pertanian. Secara geografis kedua dusun tersebut terletak diatas perbukitan terjal dan berbatu. Lereng-lereng gunung yang sangat terjal mereka olah menjadi kebun-kebun. Mereka bercocok tanam ubi, singkong, padi ladang, bawang, cabai, coklat atau cengkih. Pengetahuan mereka tentang pertanian sangat minim, sehingga hasil panennya pun sangat terbatas. Hal inilah yang melatar belakangi program pembinaan pertanian kepada mereka demi lebih menambah produktivitas hasil pertanian. Makanan pokok mereka adalah talas, ubi, singkong kadang nasi. Ubi atau singkong terkadang dibakar, atau direbus. Lauk yang paling mereka sukai adalah ikan asin, kalau tidak ada ikan asin mereka makan dengan lauk garam dicampur cabai.

SEKILAS TENTANG DUSUN SALAMAYANG
Salamayang adalah dusun yang sangat terpencil, hanya bisa di tempuh dengan berjalan kaki selama setengah hari bagi Orang Bela yang sudah biasa. Adalah pak Nani Hati, beliau adalah warga Salamayang yang sudah masuk Islam dua tahun lalu. Hanya saja, beliau masih belum mengenal islam. Anak-anak dan isterinya masih belum dibimbing bersyahadat oleh pak Imam Dongkalan. Beliau adalah satu-satunya guru Sekolah di sana. Sekolah yang beliau kelola hanya beratap terpal, berlantai papan, tanpa ada dindingnya. Jumlah siswanya 120 orang. Di sana ada 400 KK atau sekitar 3000 jiwa yang mayoritasnya masih beragama Nasrani. Hanya saja kegiatan gereja sekarang sudah tidak aktif lagi. Dahulu pernah ada pendeta bule Canada yang tinggal menetap disana. Akan tetapi karena suatu kasus akhirnya dia diusir dari Salamayang. Pak Nani Hati menjelaskan, kalau warga Salamayang disentuh dengan bantuan-bantuan insya Allah mereka bisa diajak masuk Islam. Beliau siap menjembatani untuk sampainya program dakwah kepada suku terasing disana. Dari sisi mata pencaharian, mayoritas warga Salamayang bercocok tanam bawang merah. Bagi yang pernah berkunjung ke Palu, mungkin sudah mengenal oleh-oleh Bawang Goreng renyah. Dari Salamayanglah asalnya bawang goreng tersebut di tanam. Mereka berjalan selama setengah hari memikul hasil panennya dari Salamayang menuju pasar. Terkadang bawang hasil panen mereka muat dengan rakit menyusuri sungai Palasa menuju jalan raya.

Keadaan Salamayang yang sangat terpencil tersebut membuat petugas  pemerintah merasa kesulitan dalam membina mereka. Pembinaan dari para misionaris kristen yang sempat menyentuh mereka sehingga mereka sekarang memeluk agama Kristen.

KEINGINAN MASUK ISLAM YANG TIDAK TERSAMPAI
Ada seorang warga Solongan, pak Tahar namanya, beliau pernah bertemu dengan sepuluh laki-laki warga Salamayang yang baru pulang dari kampung di bawah. Ketika ditanya apa hajat mereka dari kampung di bawah, mereka menjawab, “Kami ada 10 keluarga ingin masuk Islam, akan tetapi tidak ada tanggapan dari pak Imam.” Sehingga 10 keluarga ini dengan penuh kesedihan pulang ke Salamayang tidak jadi masuk Islam. Sungguh ironis, sepuluh keluarga tersebut tidak tersalurkan hajatnya untuk memeluk islam. Semoga Allah mempertemukan mereka dengan hidayah.

Demikianlah  gambaran singkat kisah muallaf suku terasing Lauje. Semoga Allah memberikan  keteguhan Iman dan keistiqomahan kepada mereka semua. Amiin.



Posting Komentar untuk "Kisah Muallaf Suku Terasing Lauje"