Agar Dakwah Berbuah Indah
(Penulis: Ustadz Abu Falih Yahya)
Tidak diragukan bahwa dakwah adalah sebuah amalan besar yang sangat agung nilainya. Tugas manusia-manusia utama yang menjadi pilihan Allah. Karenanya, tiada amalan yang lebih afdhal selain mewarisi amalan mulia ini.
Sebagai tanggung jawab yang berat, tentunya dakwah membutuhkan orang-orang khusus yang memang ahli di bidangnya. Hingga dakwah akan berbuah indah sebagaimana yang diharapkan.
Di masa shahabat dan masa keemasan Islam, Islam begitu pesat berkembang dan melahirkan generasi-generasi yang sangat tanggung keimanannya. Sebab tokoh-tokoh dakwah kala itu adalah para ulama rabbani (ulama yang membimbing) yang berjalan di atas manhaj kenabian, tentunya dengan seizin Allah.
Ambilah sebuah contoh menakjubkan, shahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dan dialog (baca: dakwah) beliau dengan kaum Khawarij yang hendak memberontak khalifah rasyid Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Kisah ini dibawakan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Talbis Iblis. Beliau berhasil mematahkan argumen mereka dengan argumen yang telak. Sekaligus, mengajak mereka kembali ke jalan yang benar dengan ilmu dan pemahaman yang kokoh.
Sejak dahulu kaum khawarij adalah kaum yang suka memberontak. Syahdan, kaum khawarij ini tidak setuju dengan beberapa hal yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, sang menantu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, selaku khalifah pada waktu itu. Maka, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma pun meminta izin kepada Ali untuk berdialog kepada mereka.
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma mengawali dialognya, “Wahai kaum, coba datangkan alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah dan shahabat Muhajirin serta Anshar. Padahal, kepada merekalah al Qur’an diturunkan. Sedangkan tidak ada seorang shahabat pun yang bersama kalian. Dan Ali adalah orang yang paling mengerti tentang tafsir al Qur’an?”
Mereka menjawab, “Kami punya tiga alasan.”
“Coba sebutkan!” Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menimpali.
Mereka menjawab, “Pertama, dia telah mengangkat manusia sebagai hakim dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
‘Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.’ (QS. Yusuf: 40). Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan Allah.”
“Ini alasan kalian yang pertama, lalu apa lagi?” tanya Ibnu Abbas radhiallahu anhuma.
“Adapun yang kedua, sungguh dia telah berperang dan membunuh (yakni dalam perang terhadap Aisyah radhiallahu anha, yang disebabkan kesalahpahaman). Tetapi kenapa tidak mau menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka (‘Aisyah dan yang bersama beliau) itu kafir, halal bagi kita hartanya. Kalau mereka itu mukmin, haram untuk menumpahkan darahnya.”
“Lalu apa alasan kalian yang ketiga?” tanya Ibnu Abbas radhiallahu anhuma.
“Dia telah hapus julukan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan Amirul Mukminin, berarti dia adalah Amirul Kafirin.”
“Masih adakah alasan kalian yang lain?”
“Cukup bagi kami tiga alasan ini.”
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma pun mulai menjelaskan kepada mereka, “Mengenai ucapan kalian bahwa Ali telah berhukum kepada manusia, jika aku bacakan ayat yang membantah kalian, maukah kalian kembali?”
“Ya, tentu kami akan kembali.” Jawab mereka.
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, “Ketahuilah, bahwa Allah telah menyerahkan sebagian hukum-Nya kepada keputusan manusia. Contohnya, dalam menentukan denda atas kelinci yang dibunuh ketika ihram (haji). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْتُلُواْ الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّداً فَجَزَاء مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْياً بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَو عَدْلُ ذَلِكَ صِيَاماً لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللّهُ عَمَّا سَلَف وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللّهُ مِنْهُ وَاللّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, ketika kalian sedang ihram. Barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian sebagai sembelihan yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. Al Ma-idah: 95).
Demikian pula dalam urusan sengketa antara perempuan dan suaminya, Allah juga menyerahkan hukum-Nya pada keputusan manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimilah seorang pengadil dari keluarga laki-laki dan seorang pengadil dari keluarga perempuan. Jika kedua orang pengadil itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Berilmu lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nisa’: 35)
Sungguh demi Allah, jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia sebagai hakim demi mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah itu lebih utama, ataukah perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”
“Yang pertama tentu yang lebih pantas.” Kata mereka mengakui.
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, “Apakah kalian sudah keluar dari masalah pertama?”
“Ya.”
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma melanjutkan, “Adapun ucapan kalian bahwa Ali telah memerangi tapi tidak mengambil ghanimah dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh dengan ini kalian telah menawan ibu kalian (‘Aisyah radhiallahu anha). Demi Allah, kalau kalian katakan bahwa ‘Aisyah bukan ibu kalian, maka kalian telah keluar dari Islam. Demikian juga jika kalian menganggapnya halal sebagaimana tawanan lain, maka kalian juga keluar dari Islam. Sungguh kalian berada di antara dua kesesatan karena Allah berfirman:
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.“ (QS. Al Ahzab: 6)
“Apakah kalian telah keluar dari masalah ini?” tanya Ibnu Abbas radhiallahu anhuma memastikan.
“Ya.” Jawab mereka
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma melanjutkan, “Sekarang tentang Ali menghapus julukan Amirul Mukminin dari dirinya. Akan aku kisahkan kepada kalian seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Ketahuilah bahwa pada perjanjian Hudaibiyah beliau berdamai dengan kaum musyrikin, Abu Sufyan, dan Suhail bin ‘Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi? Ketika itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Ali tulislah perjanjian untuk mereka.’ Ali menulis, ‘Inilah perjanjian antara Muhammad utusan Allah…..’
Sontak orang-orang musyrik berkata, ‘Demi Allah! Kami tidak tahu kalau engkau utusan Allah. Sekiranya kami mengakui engkau adalah utusan Allah, niscaya kami tidak akan memerangimu!”
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pun bersabda, “Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali, tulislah, ‘Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdillah………’.”
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menyimpulkan, “Demi Allah! Rasulullah lebih mulia dari Ali. Namun demikian, beliau menghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyyah.”
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma pun mengisahkan hasil dari dialognya itu, “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka. Sementara sisanya tetap memberontak, hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar.”
Cermatilah, dialah seorang Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma. Hanya dengan sebuah dialog singkat, setelah izin Allah, bisa menyadarkan sekitar dua ribu orang dari kesesatan, wa lillahil hamdu.
Namun apa kiranya, jika kemudian urusan dakwah diserahkan kepada para selebritis yang hanya mencari popularitas sehingga dakwah pun disesuaikan dengan selera konsumen. Atau bagaimana kiranya jika dakwah tersebut diserahkan kepada para muallaf yang baru saja meninggalkan kekufuran? Atau, diserahkan kepada kaum awam yang baru saja keluar dari kemaksiatan? Hasil seperti apa yang kiranya bisa diharapkan?! Wallahul musta’an. Hanya kepada Allahlah tempat meminta pertolongan.
Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman: Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab. Jika engkau telah sampai kepada mereka, maka serulah mereka agar mau bersaksi laa ilaha illallah dan Muhammad rasulullah. Jika mereka menaatimu dalam urusan itu, maka kabarkan pada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menaatimu dalam urusan itu, maka kabarkan pada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) yang diambil dari golongan kayanya dan dikembalikan kepada golongan miskinnya. Jika mereka menaatimu dalam urusan itu, maka hati-hatilah kamu dari harta berharga yang mereka miliki dan takutlah dari doanya orang yang teraniaya. Sebab tiada penghalang antara doa tersebut dengan Allah.” (HR. Al Bukhari no. 1496 dan Muslim no. 19)
Di sini Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma mengisahkan bahwa Nabi menunjuk Mu’adz untuk berdakwah ke negeri Yaman.
Pertanyaannya: Mengapa Mu’adz bin Jabal bin ‘Amr bin Aus al Anshari al Khazraji Abu Abdirrahman yang diutus?
Sudah tepatkah pilihan Rasul?
Sudah barang tentu jawabnya, “Iya.” Beliau adalah seorang shahabat yang sangat dalam ilmunya tentang Kitabullah. Sangat paham tentang halal haram. Seorang ulama rabbani yang piwawai dalam hal mendidik umat. Sampai-sampai Nabi bersabda (yang artinya), “Kelak Mu’adz pada hari kiamat akan dikumpulkan selangkah1) di depan para ulama.” (HR. Ath Thabarani dan di shahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam ash Shahihah no. 1090).
Pilihan yang tentunya bukan tanpa dasar. Sebab Mu’adz termasuk pakar di bidang ini.
Peristiwa pengutusan Mu’adz ke negeri Yaman terjadi pada tahun ke-10 H, beberapa saat sebelum haji Wada’. Beliau tetap tinggal di Yaman hingga kembali ke Madinah pada masa kekhalifahan Abu Bakar.
Sebelum berangkat, Nabi shalallahu alaihi wa sallam menyampaikan beberapa pesan penting untuk Mu’adz sebagai bekal berharga beliau dan para dai setelahnya. Nabi mengingatkan bahwa beliau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, Yahudi dan Nasrani, yang secara global mereka adalah golongan yang berilmu. Dengan ini, hendaknya beliau mempersiapkan diri sebelum mendakwahi mereka. Sebab tentunya akan berbeda menyeru kaum yang memiliki bekal ilmu dengan menyeru orang-orang bodoh dari para penyembah berhala. Dibutuhkan ilmu yang lebih tentang argumen lawan sekaligus jawabannya agar bisa mematahkan syubhat tersebut.
Selanjutnya Nabi berpesan hendaknya seruan yang pertama kali disampaikan adalah syahadat laa ilaha illallah dan muhammad rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan “….. agar mereka menauhidkan Allah.” Dalam riwayat lain “….agar beribadah kepada Allah.” Penggabungan riwayat-riwayat ini memberikan gambaran bahwa ibadah yang diperintahkan itu adalah menauhidkan/mengesakan Allah. Mengesakan-Nya berarti mempersaksikan bahwa Allah satu-satu-Nya Dzat yang berhak diibadahi, juga mempersaksikan bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Kedua persaksian ini merupakan pokok agama, yang mana Islam seseorang tidak akan sah tanpa mengikrarkannya.
Jika mereka mau mengucapkan dua kalimat syahadat dan tunduk, maka prioritas dakwah yang kedua adalah shalat lima waktu sehari semalam. Shalat adalah tiang agama, ibadah badaniyah yang paling utama dan amalan pertama kali yang akan dihisab dari seorang hamba. Jika shalatnya baik, akan menjadi baik seluruh amalannya yang lain dan jika shalatnya rusak, akan menjadi rusak pula seluruh amalannya yang lain.
Kemudian jika mereka mau taat, maka prioritas berikutnya adalah zakat yang diambil dari golongan kaya dan dibagikan kepada golongan miskinnya.
Urutan dakwah seperti ini bukan maksudnya zakat tidaklah wajib sebelum mengerjakan shalat. Bukan pula shalat tidak wajib sebelum mengucapkan syahadat. Namun maknanya bahwa dakwah itu dimulai dari yang paling penting kemudian yang penting berikutnya. Metode seperti ini termasuk dari kelemah-lembutan dalam bertutur kata agar orang yang diseru tidak lari dari dakwah karena merasa terlalu berat.
Berikutnya Nabi shalallahu alaihi wa sallam mewanti-wanti jangan sampai mengambil zakat dari harta yang paling berharga. Sebab, itu merupakan kezaliman. Demikian pula, diharamkan pula bagi orang yang memberikan zakat mengambil dari harta zakatnya yang paling buruk. Sehingga yang semestinya, zakat dibayarkan dari harta yang pertengahan, tidak terlampau berharga dan tidak terlalu rendahan.
Nabi kemudian menyebutkan salah satu ancaman agar setiap orang meninggalkan segala bentuk kezaliman. Beliau menyebutkan bahwa doa orang yang teraniaya itu sangat mustajab, tidak (ada_pen) penghalangnya dengan Allah.
Mungkin ada pertanyaan, “Terkadang seseorang yang dizalimi berdoa, namun Allah subhanahu wa ta’ala belum berkenan mengabulkannya. Bagaimana ini?” Maka jawabannya adalah, dalil ini sifatnya masih luas, perlu dibatasi dengan dalil lain yang lebih spesifik. Dari dalil lainnya, dapat disimpulkan bahwa terkabulnya doa dengan salah satu dari tiga cara:
Banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari hadits ini. Di antaranya:
1) Kata ratwah (yang kami terjemahkan selangkah) di sini memiliki beberapa penafsiran. Bisa bermakna satu mil, jarak lemparan anak panah, atau sejauh mata memandang.
2) Hadits mutawatir adalah hadits yang memiliki banyak jalan riwayat, sehingga mustahil untuk berdusta. Sedangkan hadits ahad adalah hadits yang jumlah jalan riwayat tidak sampai mutawatir. Hadits ahad ini ada yang diterima (shahih dan hasan), ada yang tidak (lemah dan palsu), tergantung dari kualitas periwayat dan kebersambungan periwayatan.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 9 Vol 1 1434 H/2013 M hal. 20-27.
Catatan saya: Dalam edisi kali ini, artikel menarik lainnya yaitu “Karena Lisannya Ahli Ibadah itu Masuk Neraka” dimulai dari hal 4 hingga hal 9, sebuah qudwah indah yang mengingatkan kita akan pentingnya menjaga lisan. Disamping itu ada pula artikel yang menggambarkan besarnya pengorbanan seorang ibu kepada anaknya dan ini terjadi pada masa Nabi Sulaiman alaihissalam dengan judul “Beri Aku Pisau Biar Kubelah Bayi Ini.” pada hal. 105-111.
Mudah-mudahan bermanfaat. Barakallahu fiikum.
Tidak diragukan bahwa dakwah adalah sebuah amalan besar yang sangat agung nilainya. Tugas manusia-manusia utama yang menjadi pilihan Allah. Karenanya, tiada amalan yang lebih afdhal selain mewarisi amalan mulia ini.
Sebagai tanggung jawab yang berat, tentunya dakwah membutuhkan orang-orang khusus yang memang ahli di bidangnya. Hingga dakwah akan berbuah indah sebagaimana yang diharapkan.
Di masa shahabat dan masa keemasan Islam, Islam begitu pesat berkembang dan melahirkan generasi-generasi yang sangat tanggung keimanannya. Sebab tokoh-tokoh dakwah kala itu adalah para ulama rabbani (ulama yang membimbing) yang berjalan di atas manhaj kenabian, tentunya dengan seizin Allah.
Ambilah sebuah contoh menakjubkan, shahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dan dialog (baca: dakwah) beliau dengan kaum Khawarij yang hendak memberontak khalifah rasyid Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Kisah ini dibawakan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Talbis Iblis. Beliau berhasil mematahkan argumen mereka dengan argumen yang telak. Sekaligus, mengajak mereka kembali ke jalan yang benar dengan ilmu dan pemahaman yang kokoh.
Sejak dahulu kaum khawarij adalah kaum yang suka memberontak. Syahdan, kaum khawarij ini tidak setuju dengan beberapa hal yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, sang menantu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, selaku khalifah pada waktu itu. Maka, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma pun meminta izin kepada Ali untuk berdialog kepada mereka.
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma mengawali dialognya, “Wahai kaum, coba datangkan alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah dan shahabat Muhajirin serta Anshar. Padahal, kepada merekalah al Qur’an diturunkan. Sedangkan tidak ada seorang shahabat pun yang bersama kalian. Dan Ali adalah orang yang paling mengerti tentang tafsir al Qur’an?”
Mereka menjawab, “Kami punya tiga alasan.”
“Coba sebutkan!” Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menimpali.
Mereka menjawab, “Pertama, dia telah mengangkat manusia sebagai hakim dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
‘Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.’ (QS. Yusuf: 40). Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan Allah.”
“Ini alasan kalian yang pertama, lalu apa lagi?” tanya Ibnu Abbas radhiallahu anhuma.
“Adapun yang kedua, sungguh dia telah berperang dan membunuh (yakni dalam perang terhadap Aisyah radhiallahu anha, yang disebabkan kesalahpahaman). Tetapi kenapa tidak mau menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka (‘Aisyah dan yang bersama beliau) itu kafir, halal bagi kita hartanya. Kalau mereka itu mukmin, haram untuk menumpahkan darahnya.”
“Lalu apa alasan kalian yang ketiga?” tanya Ibnu Abbas radhiallahu anhuma.
“Dia telah hapus julukan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan Amirul Mukminin, berarti dia adalah Amirul Kafirin.”
“Masih adakah alasan kalian yang lain?”
“Cukup bagi kami tiga alasan ini.”
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma pun mulai menjelaskan kepada mereka, “Mengenai ucapan kalian bahwa Ali telah berhukum kepada manusia, jika aku bacakan ayat yang membantah kalian, maukah kalian kembali?”
“Ya, tentu kami akan kembali.” Jawab mereka.
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, “Ketahuilah, bahwa Allah telah menyerahkan sebagian hukum-Nya kepada keputusan manusia. Contohnya, dalam menentukan denda atas kelinci yang dibunuh ketika ihram (haji). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْتُلُواْ الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّداً فَجَزَاء مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْياً بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَو عَدْلُ ذَلِكَ صِيَاماً لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللّهُ عَمَّا سَلَف وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللّهُ مِنْهُ وَاللّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, ketika kalian sedang ihram. Barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian sebagai sembelihan yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. Al Ma-idah: 95).
Demikian pula dalam urusan sengketa antara perempuan dan suaminya, Allah juga menyerahkan hukum-Nya pada keputusan manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimilah seorang pengadil dari keluarga laki-laki dan seorang pengadil dari keluarga perempuan. Jika kedua orang pengadil itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Berilmu lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nisa’: 35)
Sungguh demi Allah, jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia sebagai hakim demi mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah itu lebih utama, ataukah perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”
“Yang pertama tentu yang lebih pantas.” Kata mereka mengakui.
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, “Apakah kalian sudah keluar dari masalah pertama?”
“Ya.”
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma melanjutkan, “Adapun ucapan kalian bahwa Ali telah memerangi tapi tidak mengambil ghanimah dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh dengan ini kalian telah menawan ibu kalian (‘Aisyah radhiallahu anha). Demi Allah, kalau kalian katakan bahwa ‘Aisyah bukan ibu kalian, maka kalian telah keluar dari Islam. Demikian juga jika kalian menganggapnya halal sebagaimana tawanan lain, maka kalian juga keluar dari Islam. Sungguh kalian berada di antara dua kesesatan karena Allah berfirman:
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.“ (QS. Al Ahzab: 6)
“Apakah kalian telah keluar dari masalah ini?” tanya Ibnu Abbas radhiallahu anhuma memastikan.
“Ya.” Jawab mereka
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma melanjutkan, “Sekarang tentang Ali menghapus julukan Amirul Mukminin dari dirinya. Akan aku kisahkan kepada kalian seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Ketahuilah bahwa pada perjanjian Hudaibiyah beliau berdamai dengan kaum musyrikin, Abu Sufyan, dan Suhail bin ‘Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi? Ketika itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Ali tulislah perjanjian untuk mereka.’ Ali menulis, ‘Inilah perjanjian antara Muhammad utusan Allah…..’
Sontak orang-orang musyrik berkata, ‘Demi Allah! Kami tidak tahu kalau engkau utusan Allah. Sekiranya kami mengakui engkau adalah utusan Allah, niscaya kami tidak akan memerangimu!”
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pun bersabda, “Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali, tulislah, ‘Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdillah………’.”
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menyimpulkan, “Demi Allah! Rasulullah lebih mulia dari Ali. Namun demikian, beliau menghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyyah.”
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma pun mengisahkan hasil dari dialognya itu, “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka. Sementara sisanya tetap memberontak, hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar.”
Cermatilah, dialah seorang Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma. Hanya dengan sebuah dialog singkat, setelah izin Allah, bisa menyadarkan sekitar dua ribu orang dari kesesatan, wa lillahil hamdu.
Namun apa kiranya, jika kemudian urusan dakwah diserahkan kepada para selebritis yang hanya mencari popularitas sehingga dakwah pun disesuaikan dengan selera konsumen. Atau bagaimana kiranya jika dakwah tersebut diserahkan kepada para muallaf yang baru saja meninggalkan kekufuran? Atau, diserahkan kepada kaum awam yang baru saja keluar dari kemaksiatan? Hasil seperti apa yang kiranya bisa diharapkan?! Wallahul musta’an. Hanya kepada Allahlah tempat meminta pertolongan.
Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman: Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab. Jika engkau telah sampai kepada mereka, maka serulah mereka agar mau bersaksi laa ilaha illallah dan Muhammad rasulullah. Jika mereka menaatimu dalam urusan itu, maka kabarkan pada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menaatimu dalam urusan itu, maka kabarkan pada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) yang diambil dari golongan kayanya dan dikembalikan kepada golongan miskinnya. Jika mereka menaatimu dalam urusan itu, maka hati-hatilah kamu dari harta berharga yang mereka miliki dan takutlah dari doanya orang yang teraniaya. Sebab tiada penghalang antara doa tersebut dengan Allah.” (HR. Al Bukhari no. 1496 dan Muslim no. 19)
Di sini Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma mengisahkan bahwa Nabi menunjuk Mu’adz untuk berdakwah ke negeri Yaman.
Pertanyaannya: Mengapa Mu’adz bin Jabal bin ‘Amr bin Aus al Anshari al Khazraji Abu Abdirrahman yang diutus?
Sudah tepatkah pilihan Rasul?
Sudah barang tentu jawabnya, “Iya.” Beliau adalah seorang shahabat yang sangat dalam ilmunya tentang Kitabullah. Sangat paham tentang halal haram. Seorang ulama rabbani yang piwawai dalam hal mendidik umat. Sampai-sampai Nabi bersabda (yang artinya), “Kelak Mu’adz pada hari kiamat akan dikumpulkan selangkah1) di depan para ulama.” (HR. Ath Thabarani dan di shahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam ash Shahihah no. 1090).
Pilihan yang tentunya bukan tanpa dasar. Sebab Mu’adz termasuk pakar di bidang ini.
Peristiwa pengutusan Mu’adz ke negeri Yaman terjadi pada tahun ke-10 H, beberapa saat sebelum haji Wada’. Beliau tetap tinggal di Yaman hingga kembali ke Madinah pada masa kekhalifahan Abu Bakar.
Sebelum berangkat, Nabi shalallahu alaihi wa sallam menyampaikan beberapa pesan penting untuk Mu’adz sebagai bekal berharga beliau dan para dai setelahnya. Nabi mengingatkan bahwa beliau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, Yahudi dan Nasrani, yang secara global mereka adalah golongan yang berilmu. Dengan ini, hendaknya beliau mempersiapkan diri sebelum mendakwahi mereka. Sebab tentunya akan berbeda menyeru kaum yang memiliki bekal ilmu dengan menyeru orang-orang bodoh dari para penyembah berhala. Dibutuhkan ilmu yang lebih tentang argumen lawan sekaligus jawabannya agar bisa mematahkan syubhat tersebut.
Selanjutnya Nabi berpesan hendaknya seruan yang pertama kali disampaikan adalah syahadat laa ilaha illallah dan muhammad rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan “….. agar mereka menauhidkan Allah.” Dalam riwayat lain “….agar beribadah kepada Allah.” Penggabungan riwayat-riwayat ini memberikan gambaran bahwa ibadah yang diperintahkan itu adalah menauhidkan/mengesakan Allah. Mengesakan-Nya berarti mempersaksikan bahwa Allah satu-satu-Nya Dzat yang berhak diibadahi, juga mempersaksikan bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Kedua persaksian ini merupakan pokok agama, yang mana Islam seseorang tidak akan sah tanpa mengikrarkannya.
Jika mereka mau mengucapkan dua kalimat syahadat dan tunduk, maka prioritas dakwah yang kedua adalah shalat lima waktu sehari semalam. Shalat adalah tiang agama, ibadah badaniyah yang paling utama dan amalan pertama kali yang akan dihisab dari seorang hamba. Jika shalatnya baik, akan menjadi baik seluruh amalannya yang lain dan jika shalatnya rusak, akan menjadi rusak pula seluruh amalannya yang lain.
Kemudian jika mereka mau taat, maka prioritas berikutnya adalah zakat yang diambil dari golongan kaya dan dibagikan kepada golongan miskinnya.
Urutan dakwah seperti ini bukan maksudnya zakat tidaklah wajib sebelum mengerjakan shalat. Bukan pula shalat tidak wajib sebelum mengucapkan syahadat. Namun maknanya bahwa dakwah itu dimulai dari yang paling penting kemudian yang penting berikutnya. Metode seperti ini termasuk dari kelemah-lembutan dalam bertutur kata agar orang yang diseru tidak lari dari dakwah karena merasa terlalu berat.
Berikutnya Nabi shalallahu alaihi wa sallam mewanti-wanti jangan sampai mengambil zakat dari harta yang paling berharga. Sebab, itu merupakan kezaliman. Demikian pula, diharamkan pula bagi orang yang memberikan zakat mengambil dari harta zakatnya yang paling buruk. Sehingga yang semestinya, zakat dibayarkan dari harta yang pertengahan, tidak terlampau berharga dan tidak terlalu rendahan.
Nabi kemudian menyebutkan salah satu ancaman agar setiap orang meninggalkan segala bentuk kezaliman. Beliau menyebutkan bahwa doa orang yang teraniaya itu sangat mustajab, tidak (ada_pen) penghalangnya dengan Allah.
Mungkin ada pertanyaan, “Terkadang seseorang yang dizalimi berdoa, namun Allah subhanahu wa ta’ala belum berkenan mengabulkannya. Bagaimana ini?” Maka jawabannya adalah, dalil ini sifatnya masih luas, perlu dibatasi dengan dalil lain yang lebih spesifik. Dari dalil lainnya, dapat disimpulkan bahwa terkabulnya doa dengan salah satu dari tiga cara:
- Allah langsung mengabulkan doanya
- Allah menyimpankan untuknya yang lebih utama daripada apa yang dimintanya.
- Allah memalingkan dari dirinya kejelekan yang seukuran dengan doanya.
Banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari hadits ini. Di antaranya:
- Diterimanya hadits ahad (berita yang perawinya tidak mencapai derajat mutawatir 2) yang shahih atau hasan, dan kita wajib mengamalkannya. Karena Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mengutus Mu’adz sendirian dalam berdakwah ke Yaman. Dan penduduk di sana langsung menerima dakwah Mu’adz, tidak mempertanyakan apakah ada penyampai lainnya yang bersama Mu’adz radhiallahu anhu.
- Kaum kafir, termasuk juga ahli kitab, terlebih dahulu diseru kepada tauhid. Jika mereka mau beriman maka diajari syariat yang selanjutnya. Jika tidak mau maka diperangi, dengan komando dari pemimpin negara muslim.
- Meyakini keesaan Allah adalah kewajiban yang paling pertama.
- Tidak dianggap muslim orang yang tidak melafalkan dua kalimat syahadat dengan lisannya, bagi yang mampu. Meskipun dia meyakini kebenaran Islam dan melaksanakan syariatnya. Sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam memerintah Mu’adz radhiallahu anhu agar menyeru penduduk Yaman untuk bersaksi: “Laa illaha illallah muahammadur rasulullah.”
- Shalat lima waktu itu hukumnya wajib dalam sehari semalam dan merupakan rukun Islam yang paling utama setelah syahadat.
- Zakat adalah kewajiban yang terkait dengan harta. Zakat diambil dari kaum muslimin yang terpenuhi syarat-syarat zakat meskipun belum baligh (menurut sebagian ulama). Dan dibagikan kepada kaum muslimin yang fakir terutama yang ada di daerah dikumpulkannya zakat.
- Zakat tidak boleh dibagikan kepada orang kafir ataupun orang kaya. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits di atas yang artinya, “….dikembalikan kepada golongan miskinnya.” Kata ganti ‘nya” yang dimaksudkan adalah kaum muslimin, bukan orang kafir. Sehingga maknanya, “….dikembalikan kepada golongan miskin dari kaum muslimin.”
- Haramnya perbuatan zalim secara umum.
- Semestinya bagi penguasa untuk menasihati para pegawainya agar bertakwa kepada Allah dan menjauhi kezaliman.
- Diharamkan bagi para pegawai pemungut zakat untuk mengambil harta zakat yang paling berharga dan diharamkan bagi orang yang menunaikan zakat untuk mengeluarkan dari harta zakat yang paling buruk.
- Mustajabnya doa orang yang teraniaya.
- Disyariatkan menempuh metode pengajaran secara bertahap. Dimulai dari yang paling penting kemudian yang paling penting setelahnya. Karena itulah, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam membimbingkan kepada Mu’adz radhiallahu anhu untuk berdakwah kepada tauhid pertama kali, lalu shalat, lalu zakat, dan seterusnya.
- Keutamaan Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu sebab Nabi mengutusnya sebagai dai, pengajar, sekaligus hakim bagi penduduk Yaman. Allahu a’lam bish shawab.
1) Kata ratwah (yang kami terjemahkan selangkah) di sini memiliki beberapa penafsiran. Bisa bermakna satu mil, jarak lemparan anak panah, atau sejauh mata memandang.
2) Hadits mutawatir adalah hadits yang memiliki banyak jalan riwayat, sehingga mustahil untuk berdusta. Sedangkan hadits ahad adalah hadits yang jumlah jalan riwayat tidak sampai mutawatir. Hadits ahad ini ada yang diterima (shahih dan hasan), ada yang tidak (lemah dan palsu), tergantung dari kualitas periwayat dan kebersambungan periwayatan.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 9 Vol 1 1434 H/2013 M hal. 20-27.
Catatan saya: Dalam edisi kali ini, artikel menarik lainnya yaitu “Karena Lisannya Ahli Ibadah itu Masuk Neraka” dimulai dari hal 4 hingga hal 9, sebuah qudwah indah yang mengingatkan kita akan pentingnya menjaga lisan. Disamping itu ada pula artikel yang menggambarkan besarnya pengorbanan seorang ibu kepada anaknya dan ini terjadi pada masa Nabi Sulaiman alaihissalam dengan judul “Beri Aku Pisau Biar Kubelah Bayi Ini.” pada hal. 105-111.
Mudah-mudahan bermanfaat. Barakallahu fiikum.
Posting Komentar untuk "Agar Dakwah Berbuah Indah"