Musthalah Al Hadits (Pertemuan Ke-22)
BUKU : MUSTHALAH AL-HADITS
PENGARANG : IBNU
'UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
__________
بِسْمِ اللهِ الرَّحمَنِ الرَّحِيْمِ
"IKHTISHARUL HADITS"
Yang akan kita uraikan pada
pertemuan kita kali ini adalah masail seputar "Ikhtisharul Hadits"
atau meringkas lafazh suatu hadits, insya Allah.
Berkata asy-syaikh
Ibnu 'Utsaimin rahimahullah :
اخْتِصَارُ الحَدِيْثِ
أ_ تَعْرِيْفُهُ، ب_ حُكْمُهُ
Ikhtisharul Hadits (mencakup) :
A).
Definisi "Ikhtisharul Hadits". Dan B).
Hukum "Ikhtisharul Hadits".
A). Definisi "Ikhtisharul
Hadits".
أ_ اخْتِصَارُ الحَدِيْثِ
أَنْ يُحْذِفَ رَاوِيْهِ، أَوْ نَاقِلُهِ شَيْئاً مِنْهُ
"Ikhtisharul Hadits" yaitu
:
Seorang perawi atau penukil terhadap
suatu hadits menghilangkan sebagian dari hadits tersebut.
B). Hukum "Ikhtisharul
Hadits".
ب_ وَلَا يَجُوْزُ إِلَّا بِشُرُوْطٍ خَمْسَةٍ
Tidak diperbolehkan meng-ikhtishar
suatu hadits kecuali terpenuhi padanya 5 (lima) syarat.
الأَوَّلُ_ أَنْ لَا يُخِلَّ بِمَعْنَى الحَدِيثِ: كَالاِستِثْنَاءِ،
وَالغَايَةِ، وَالحَالِ، وَالشَّرْطِ، وَنَحْوِهَا
Syarat
pertama.
Hal tersebut tidak mencacati makna
hadits. (Kapan mencacati makna hadits, maka tidak boleh dilakukan. Contoh yang
tidak boleh _pent) seperti "الاِستِثْنَاء" (sebuah pengecualian), dan "الغَايَة" (puncak), dan "الحَال"
(keadaan), dan "الشَّرْط" (syarth), dan yang semisalnya.
Asy-syarth "الشَّرْط"
yakni: dua sesuatu yang keduanya saling memiliki keterkaitan dan keterikatan.
Dimana kedua hal tersebut tidak boleh dihilangkan salah satunya. Seperti antara
pertanyaan dan jawaban. Dan yang semisalnya. (pent)
Contoh.
مِثْلُ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Contohnya seperti sabda nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
(1). Tentang "الاِستِثْنَاء" (sebuah pengecualian).
"لَا تَبِيْعُوْا
الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلاً بِمِثْلٍ". الحَدِيثُ
"Janganlah kalian menjual emas
dengan emas, terkecuali semisal dengan semisal." (Al-hadits)
(2). Tentang "الغَايَة" (puncak).
"لَا تَبِيْعُوْا
الثَّمَرَ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهُ". الحَدِيثُ
"Janganlah kalian menjual buah
hingga nampak ranumnya." (Al-hadits)
(3). Tentang "الحَال" (keadaan).
"لَا يَقْضِيَنَّ
حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ". الحَدِيْثُ
"Janganlah seorang hakim
memutuskan sebuah perkara di antara dua orang, dalam keadaan ia sedang
marah." (Al-hadits)
(4). Tentang "الشَّرْط" (Syarth).
"نَعَمْ إِذَا
هِيَ رَأَتِ المَاءَ"؛ قَالَهُ جَوَاباً لَأُمِّ سُلَيْم حِيْنَ سَأَلَتْهُ:
هَل عَلَى المَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ؟. الحَدِيْثُ
"Na'am, apabila ia melihat air
(yakni air tanda mimpi basah _pent)." Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan hal tersebut sebagai jawaban
terhadap Ummu Sulaim radhiallahu 'anha
tatkala ia bertanya : apakah terkena kewajiban mandi bagi seorang wanita yang
mengalami mimpi basah?."
(Al-hadits)
Demikian juga sabda nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
"لَا يَقُلْ
أَحَدُكُمْ: اللَّهُمَّ! اغْفِرْ لِيْ إِنْ شِئْتَ". الحَدِيْثُ
"Janganlah salah seorang di
antara kalian berdoa: ya Allah! Ampunilah aku apabila Engkau berkenan."
(Al-hadits)
Demikian juga seperti sabda nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
"الحَجُّ المَبْرُوْرُ
لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ". الحَدِيْثُ
Haji yang mabrur, tidak ada balasan
baginya melainkan syurga. (Al-hadits)
Kemudian asy-syaikh
Ibnu 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan :
فَلَا يَجُوْزُ حَذْفُ قَوْلِهِ
Maka tidak diperbolehkan menghapus
sabda nabi shallallahu 'alahi wasallam
:
(إِلَّا مِثْلاً بِمِثْلٍ)
"Terkecuali semisal dengan
semisal."
(حَتَّى يَبْدُوَ
صَلَاحُهُ)
"Hingga nampak ranumnya."
(وَهُوَ غَضْبَانُ)
"Dalam keadaan ia sedang
marah."
(إِذَا ِهِيَ رَأَتِ
المَاءَ)
"Apabila ia melihat air (yakni
air tanda mimipi basah _pent)."
(إِنْ شِئْتَ)
"Apabila Engkau berkenan."
(المَبْرُوْرُ)
"Mabrur."
Kemudian asy-syaikh
Ibnu 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan :
لِأَنَّ حَذْفَ هَذِهِ الأَشْيَاءِ يُخِلُّ بِمَعْنَى الحَدِيْثِ
Karena menghapus sesuatu tersebut
akan mencacati makna hadits.
الثَّانِيْ_ أَنْ لَا يُحْذَفَ مَا جَاءَ الحَدِيثُ مِنْ أَجْلِهِ
Syarat
ke-dua.
Tidak menghilangkan sesuatu, yang
datangnya suatu hadits dikarenakan (untuk menjelaskan _pent) hal tersebut.
Contoh.
مِثْلُ: حَدِيثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً
سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّا نَرْكَبُ البَحْرَ،
وَنَحْمِلُ مَعَنَا القَلِيْلَ مِنَ المَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطَشْنَا!
أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ البَحْرِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ:
"هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الحِلُّ مَيْتَتُهُ". الحَدِيْثُ
Contohnya : hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa seseorang
bertanya kepada nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, ia berkata : sesungguhnya kami mengendarai sebuah kapal,
dan kami hanyalah membawa sedikit persediaan air. Apabila kami berwudhu dengan
air tersebut, niscaya kami akan kehausan! Haruskah kami berwudhu dengan air
laut? Maka nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda :
"هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الحِلُّ مَيْتَتُهُ".
الحَدِيْثُ
"Air laut itu suci airnya dan
halal bangkainya." (Al-hadits)
فَلَا يَجُوْزُ حَذْفُ قَوْلِهِ: (هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ)؛ لِأَنَّ
الحَدِيْثَ جَاءَ مِنْ أَجْلِهِ، فَهُوَ المَقْصُوْدُ بِالحَدِيْثِ
Maka tidak boleh menghilangkan sabda
beliau shallallahu 'alaihi wasallam
"air laut itu suci airnya". Karena hadits tersebut datang disebabkan
untuk menjelaskan hal tersebut. Dan itu adalah inti hadits.
الثَّالِثُ_ أَنْ لَا يَكُوْنَ وَارِداً لِبَيَانِ صِفَةِ عِبَادَةٍ قَوْلِيَّةٍ
أَوْ فِعْلِيَّةٍ
Syarat
ke-tiga.
Hadits tersebut bukan datang untuk
menjelaskan suatu sifat ibadah, baik ibadah yang berbentuk ucapan maupun
perbuatan.
Contoh.
مِثْلُ حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ فِيْ الصَّلَاةِ
فَلْيَقُلْ: التَّحِيَاتُ لِلَّهِ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ
أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى
عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ". الحَدِيْثُ
Contohnya: hadits Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu bahwa nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
apabila salah seorang di antara kalian
duduk dalam shalatnya, maka ucapkanlah :
التَّحِيَاتُ لِلَّهِ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ
أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى
عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Segala penghormatan hanyalah milik
Allah, juga segala pengagungan dan segala kebaikan. Semoga kesejahteraan
terlimpahkan kepada engkau wahai nabi, demikian juga rahmat Allah dan
berkah-Nya. Dan juga semoga kesejahteraan telimpahkan kepada kami dan kepada
hamba-hamba Allah yang shalih. Dan aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang
berhak diibadahi melainkan hanya Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya.
Kemudian asy-syaikh
Ibnu 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan :
فَلَا يَجُوْزُ حَذْفُ شَيْءٍ مِن هَذَا الحَدِيْثِ؛ لِإِخْلَالِهِ بِالصِّفَةِ
المَشْرُوْعَةِ إِلَّا أَنْ يُشِيْرَ إِلَى أَنَّ فِيْهِ حَذْفاً
Maka tidak diperbolehkan untuk
menghilangkan sesuatu dari hadits ini. Karena akan mencacati sifat ibadah yang
disyariatkan. Terkecuali apabila mengisyaratkan bahwa ada yang dihilangkan pada
hadits tersebut.
الرَّابِعُ_ أَنْ يَكُوْنَ مِنْ عَالِمٍ بِمَدْلُولَاتِ الْأَلْفَاظِ،
وَمَا يُخِلُّ حَذْفُهُ بِالمَعْنَى وَمَا لَا يُخِلُّ؛ لِئَلَّا يُحْذَفَ مَا يُخِلُّ
بِالمَعْنَى مِنْ غَيْرِ شُعُوْرٍ بِذَلِكَ
Syarat
ke-empat.
Yang melakukan hal tersebut adalah
seorang yang 'alim (memiliki ilmu) tentang kandungan-kandungan dari
lafazh-lafazh tersebut. Mengetahui mana mencacati makna dan mana yang tidak
mencacati. Agar apa-apa yang mencacati makna (apabila terhapus _pent), tidak
terhapus tanpa menyadari hal tersebut.
الخَامِسُ_ أَنْ لَا يَكُوْنَ الرَّاوِيُّ مَحَلًّا لِلتُّهْمَةِ، بِحَيْثُ
يُظَنُّ بِهِ سَوْءُ الحِفْظِ إِنِ اخْتَصَرَهُ، أَوِ الزِّيَادَةُ فِيْهِ إِنْ أَتَمَّهُ؛
لِأَنَّ اخْتِصَارَهُ فِيْ هَذِهِ الحَالِ يَسْتَلْزِمُ التَّرَدُّدَ فِيْ قَبُوْلِهِ،
فَيُضَعَّفُ بِهِ الحَدِيْثُ
Syarat
ke-lima.
Sang perawi (atau yang melakukan hal
tersebut _pent) adalah bukan sasaran terhadap suatu tuduhan.
Dari sisi terdeteksi bahwa ia buruk
hafalannya apabila meng-Ikhtishar. Atau bisa terjadi penambahan pada hadits,
apabila menyempurnakan. Karena perbuatannya meng-Ikhtishar dalam keadaan yang
demikian (yakni tertuduh _pent) berkonsekuensi mendatangkan kebimbangan untuk
diterimanya. Sehingga dilemahkanlah suatu hadits dikarenakan hal tersebut.
وَمَحَلُّ هَذَا الشَّرْطِ فِيْ غَيْرِ الْكُتُبِ المُدَوَّنَةِ الْمَعْرُوْفَةِ؛
لِأَنَّهُ يُمْكِنُ الرُّجُوْعُ إِلَيْهُا فَيَنْتَفِيْ التَّرَدُّدُ
Dan syarat yang ke-lima ini bukan
berlaku pada kitab-kitab yang terbukukan lagi ma'ruf. Karena dalam hal ini, kita
bisa langsung meninjau pada kitab-kitab yang ma'ruf tersebut, sehingga
hilanglah kebimbangan.
فَإِذَا تَمَّتْ هَذِهِ الشُّرُوْطُ جَازَ اخْتِصَارُ الْحَدِيْثِ، وَلَا
سِيَمَا تَقْطِيْعُهُ لِلْاِحتِجَاجِ بِكُلِّ قِطْعَةٍ مِنْهُ فِيْ مَوْضِعِهَا، فَقَدْ
فَعَلَهُ كَثِيْرٌ مِنَ الْمُحَدِّثِيْنَ وَالفُقَهَاءِ
Apabila terpenuhi syarat-syarat ini,
maka boleh meng-Ikhtishar atau meringkas suatu hadits. Terlebih pemotongan
terhadap suatu hadits untuk berargumentasi dengan setiap dari potongan tersebut
pada fungsinya. Sungguh, hal ini banyak dilakukan oleh para muhadditsin dan
fuqaha.
وَالأَوْلَى أَنْ يُشِيْرَ عِنْدَ اخْتِصَارِ الْحَدِيْثِ إِلَى أَنَّ
فِيْهِ اخْتِصَاراً فَيَقُوْلُ: إِلَى آخِرِ الحَدِيْثِ، أَوْ: ذُكِرَ الحَدِيْثُ
وَنَحْوُهُ
Dan
yang lebih utama adalah dengan mengisyaratkan tatkala meringkas suatu hadits
bahwa padanya terjadi peringkasan. Dengan mengatakan: "ila akhiril hadits",
atau: "disebutkan dalam suatu hadits", dan yang semisalnya.
Wallahu A'lam Bish
Shawab.
Ditulis
oleh :
Rabu, 09 - 09 - 2015 M
Posting Komentar untuk "Musthalah Al Hadits (Pertemuan Ke-22) "