Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Yang Syar’i Dalam Mencari Pendamping Hidup (Bag.1 dari 2)

(Penulis: Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifa’i Ngawi)
Mempunyai pasangan hidup adalah satu kebutuhan dasar manusia dalam menjalani kehidupan. Itu sebabnya Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pencipta kita menjadikan manusia memiliki kecondongan terhadap lawan jenisnya. Tujuannya, kelak mereka dapat bertemu dalam satu tatanan kehidupan rumah tangga untuk membentuk masyarakat muslim yang baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al Qur’an
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita…. (QS. Ali Imran: 14)

Dan Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia jadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum: 21)


Akan tetapi kecondongan ini diatur didalam syariat agar tidak memberikan kemudharatan baik kepada pelakunya maupun kepada masyarakat Islam secara umum. Sebagaimana yang kita saksikan dalam kehidupan nyata, betapa banyak kerusakan terjadi ketika kecondongan kepada lawan jenis ini dibiarkan tanpa aturan. Terjadi perzinaan, kehamilan di luar nikah, rusaknya nasab anak-anak muslim. Wallahul mustaan, Allahlah tempat memohon pertolongan.

Maka jalan keluar dari semua ini adalah kembali kepada tuntunan syariat agar tercipta generasi masyarakat muslim yang lebih baik di masa mendatang. Untuk itulah, perlu kita ketahui tahapan-tahapan yang dituntunkan syariat yang sepantasnya dilakukan oleh seseorang ketika berkehendak mencari pasangan hidupnya.
  1. Tahapan awal sebelum memulai usaha mencari pasangan hidup
Sebelum seseorang memulai usahanya dalam mencari pasangan hidup, hendaknya dia memerhatikan beberapa perkara berikut pada dirinya. Perkara-peraka itu adalah:
a. Hendaknya dia melihat keadaan dirinya, apakah dia benar-benar telah siap untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Hal ini penting untuk diperhatikan karena kehidupan berumah tangga bukanlah perkara mudah yang penuh dengan keindahan semata, akan tetapi di dalamnya akan banyak perkara yang menghadang yang memerlukan kesiapan baik ilmu, fisik, serta mental agar seseorang dapat menghadapinya sesuai dengan tuntunan syariat. Dan itulah yang ditekankan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda. Barang siapa dari kalian sudah mampu ba’ah, maka hendaknya dia menikah. Karena menikah itu lebih menjaga pandangan, dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa belum mampu (untuk ba’ah), maka hendaknya dia berpuasa. Maka sesungguhnya puasa itu perisai baginya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu).

Di dalam hadits ini ada bimbingan untuk seseorang yang ingin menikah (terutama para pemuda) untuk melihat apakah dirinya memiliki ba’ah ataukah belum. Jika sudah, hendaknya dia menikah. Sedangkan apabila dia belum mampu untuk ba’ah, hendaknya dia berpuasa untuk menahan diri dari dorongan syahwatnya seraya mempersiapkan diri untuk ba’ah, dan menjadikan ibadah puasanya sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah agar Allah berikan jalan keluar dan membuatnya mampu untuk melaksanakan pernikahan tersebut.

Adapun ba’ah, para ulama menjelaskan maknanya dengan beberapa definisi.

Diantaranya:
  • Al Ba’ah secara bahasa diartikan jima’ yaitu kemampuan seseorang untuk memberikan nafkah batin (seksual) kepada pasangannya. Dan ba’ah ini ada yang menyebutnya sebagai Al Baa’atul Jasadiyah.
  • Yang kedua adalah Al Ba’atul Maliyah yaitu perkara-perkara yang berhubungan dengan perbekalan-perbekalan untuk menuju kepada pernikahan, seperti pekerjaan bagi seorang laki-laki, atau kesiapan untuk mengurus kebutuhan rumah tangga bagi wanita, dan tak lupa adalah ilmu tentang perkara-perkara yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suami istri.
Kedua makna ini tidak dapat terpisahkan. Kedua perkara tersebut harus diperhatikan. Sehingga Syaikh Mubarakfuri dalam syarah beliau terhadap hadits ini dalam Tuhfatul Ahwadzi, “Orang yang lemah dalam permasalahan jima’ (jika ba’ah hanya diartikan jima’ saja) tidak membutuhkan puasa untuk menolak dorongan syahwatnya. Sehingga seharusnya pengertian ba’ah diarahkan kepada makna bekal pernikahan.”

Namun perlu kita perhatikan, seseorang tidak harus mapan dan berkecukupan, karena Allah yang akan mencukupi seseorang yang menunaikan perkara ini dengan niatan ibadah kepada-Nya. Minimalnya dia telah merintis suatu pekerjaan atau tempat tinggal, dan gambaran tentang apa yang hendak dia rencanakan setelah pernikahannya. Hal ini sangat penting karena seorang laki-laki berkewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya kelak. Begitu pula bagi wanita, hendaknya dia benar-benar siap untuk mengemban kewajiban rumah tangga. Perkara-perkara ini perlu diperhatikan karena keduanya akan terkena beban pernikahan berupa hak dan kewajiban suami istri yang harus mereka emban masing-masing. Itulah sebabnya Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam melarang para wali untuk memaksa anak wanita mereka menikah karena akan dikhawatirkan menyebabkan mereka merasa berat dengan beban-beban pernikahan yang harus diembannya. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu:
لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا كَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
“Janganlah kalian menikahkan seorang janda hingga dia dimintai pendapatnya, dan janganlah kalian menikahkan seorang gadis hingga dia diminta persetujuannya.” Para shahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, (seorang gadis biasanya malu untuk menyatakan persetujuannya, lantas) bagaimanakah bentuk persetujuannya?” Beliau bersabda, “dia diam (berarti dia setuju).” (HR. Bukhari dan Muslim)

b. Apabila dia belum memiliki ba’ah pada dirinya, padahal sudah tidak mungkin untuk menunda pernikahan disebabkan khawatir terjerumus kepada kemaksiatan, maka hendaknya dia bermusyawarah dengan orang tua serta orang yang memiliki ilmu agar bisa membantunya untuk bisa menjalankan pernikahan tersebut. Dan hendaknya pihak-pihak tersebut membantunya dengan apa yang mereka mampui. Baik dengan bantuan mental dan juga material agar pemuda tersebut dapat melaksanakan pernikahan. Semua dalam rangka menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al Maidah: 2)
  1. Hendaknya dia berupaya dan melakukan sebab yang dapat menyampaikannya kepada tujuannya untuk mencari pasangan hidup tersebut, tentunya dengan cara yang diperbolehkan secara syariat dan tidak menyelisihi syariat.
Salah satu ciri benarnya tawakal seseorang adalah dia melakukan sebab-sebab yang dapat mengantarkan dirinya kepada maksud yang dituju. Begitu pula dalam perkara ini. Akan tetapi, janganlah keadaan tersebut dijadikan alasan bagi seseorang untuk melanggar syariat Allah dengan memperbolehkan pacaran (berhubungan dengan lawan jenis secara khusus) baik secara langsung dengan bertemu, ataupun dengan menggunakan berbagai fasilitas kemajuan teknologi seperti melalui internet, facebook, whatsapp dan sebagainya. Syariat telah memberikan beberapa pilihan cara yang diperkenankan di antaranya:
a. Seorang wali menawarkan wanita yang ada dalam pertanggungannya kepada seorang laki-laki yang shalih. Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada kisah Umar bin Khaththab radhiallahu anhu ketika anaknya, Hafshah bintu Umar radhiallahu anhuma, menjanda. Beliau menawarkan Hafshah kepada Abu Bakar dan Utsman Ibn Affan radhiallahu anhuma karena keshalihan keduanya. Akan tetapi, Allah menakdirkan Hafshah bintu Umar mendapatkan yang lebih baik dari keduanya yaitu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Shahihnya.

b. Seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki yang shalih ketika tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah. Hal ini juga pernah terjadi di zaman Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, ada seorang wanita dari kalangan shahabiyah datang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tidak mempunyai kecondongan kepadanya sehingga akhirnya wanita tersebut beliau nikahkan kepada salah seorang shahabatnya dengan mahar bacaan Al Qur’an yang dimilikinya.

Tentunya hal ini dilakukan ketika tidak dikhawatirkan terjadi fitnah yang besar atas perbuatannya tersebut. Semisal ketika para perantaranya adalah orang-orang tertentu saja dan dapat dipercaya sehingga berita penawaran diri ini hanya diketahui oleh orang tertentu. Adapun kalau dikhawatirkan menimbulkan kemudharatan, maka sesuai kaidah syariat “mencegah kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.” Sehingga, sangat tidak dianjurkan menawarkan diri secara langsung tanpa perantara untuk dinikahi.

c. Memohon bantuan melalui saudara-saudaranya seiman terutama kepada orang-orang shalih untuk mencarikan pendamping hidup yang sesuai dan baik baginya.

Hal ini juga pernah terjadi pada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam sendiri. Beliau ingin mencari pendamping hidup setelah wafatnya istri beliau Khadijah radhiallahu anha. Beliau meminta bantuan seorang shahabiyah untuk mencarikan pasangan. Dengan izin Allah, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam beristrikan Saudah binti Zam’ah radhiallahu anhuma dan Aisyah binti Abu Bakr radhiallahu anhuma.

Akan tetapi, harus dipahami bahwa usaha yang dilakukan hanyalah satu bentuk ikhtiar kita. Adapun hasil akhir kembali kepada takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Masalah jodoh adalah satu perkara yang telah Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan jauh sebelum kita diciptakan. Tak ada yang dapat mempercepat dan tak ada yang dapat memperlambatnya. Apabila telah Allah tetapkan jodoh itu datang, maka seberapa kuat pun kita berusaha, mesti akan ada sebab terjadi pernikahan itu. Begitu pula sebaliknya, betapa pun diharapkan dan diusahakan, jika memang belum saatnya datang maka akan ada sebab yang menggagalkannya. Oleh karena itu, ketika seseorang telah bertekad kuat untuk menikah dan telah berusaha, hendaknya dia banyak berdoa dan menyerahkan akhir semua urusannya kepada Allah semata. Janganlah dia gelap mata sehingga terjerumus pada perkara-perkara yang melanggar syariat. Hendaknya dia justru memperbanyak ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah agar Allah berkenan memudahkan urusannya tersebut.
  1. Saling mengenal (ta’aruf)
Dalam tahapan ini, ada beberapa perkara yang harus diperhatikan, diantaranya adalah:
a. Ketika seseorang meminta bantuan kepada seorang perantara, hendaknya dia merinci apa yang dia kehendaki dari pasangannya kelak, jika memang ada hal-hal yang ingin dia dapatkan pada diri pasangannya. Semisal kemampuan akademis atau kecantikannya, sifat ataupun yang selainnya. Dan boleh juga dia memerinci perkara-perkara yang tidak dia sukai. Hal ini agar perantara tersebut dapat memilihkan calon yang mendekati apa yang dikehendaki. Perkara ini dperbolehkan oleh syariat. Karena seseorang dipilih untuk dijadikan pasangan hidup karena apa yang dimilikinya. Sekalipun demikian, maka pilihan terbaik adalah pada seseorang yang memiliki agama yang baik. Seseorang yang mempunyai agama yang baik, nsya Allah akan paham hak dan kewajiban suami istri dan akan berusaha menunaikannya dalam kehidupan rumah tangganya. Dengannya dia dapat menjadi pasangan yang berusaha menyenangkan hati dengan akhlak yang baik kepada pasangannya, terlepas dari kelebihan atau kekurangannya. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Dinikahi seorang wanita karena empat perkara. Karena hartanya, karena nasabnya (keturunannya), karena kecantikannya, dan karena agamanya. Utamakanlah yang memiliki agama, karena kamu akan beruntung. (HR. Bukhari dan Muslim)

b. Ketika pengenalan awal kedua belah pihak saling menyetujui, maka sebelum melangkah lebih jauh hendaknya kedua belah pihak (melalui perantaranya) menyebutkan aib-aib yang ada pada dirinya masing-masing. Agar, jika Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki terjadinya perikahan, tidak ada penyesalan di kemudian hari. Aib yang dimaksud adalah aib yang mencegah pasangannya untuk mendapatkan tujuan pernikahan. Contohnya, salah satu pihak terhalangi untuk mendapatkan kesenangan biologis ataupun mendapatkan keturunan. Perkara ini dibahas secara rinci oleh para ulama dalam kitab fikih mereka. Akan tetapi kami sebutkan beberapa saja yang terpenting. Di antaranya.
  • Pernah gila walaupun sesaat. Termasuk juga dalam hal ini pernah depresi, ataupun kerasukan jin. Hal ini harus disebutkan karena perkara-perkara tersebut memungkinkan untuk terulang di kemudian hari, maka pasangannya harus mengetahui dan siap menerima risikonya ketika hal tersebut terjadi.
  • Kusta
  • Albino
  • Cacat pada sebagian anggota badan
  • Tidak memiliki kemampuan untuk berhubungan suami istri
  • Penyakit-penyakit yang berkenaan dengan kemaluan yang dapat mengganggu hubungan atanra suami dan istri, seperti pada wanita yaitu istihadhah berkepanjangan, keputihan yang sangat mengganggu, cacat pada buah dada dan sejenisnya. Sedangkan pada laki-laki seperti adanya sumbatan pada kemaluan atau rusaknya sebagian kemaluannya, mandul, impoten, dan sejenisnya.
Maka, perkara-perkara tersebut harus diberitahukan sebelum melangkah ke arah yang lebih jauh. Dan wajib bagi masing-masing pihak untuk jujur. lalu apabila Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan tidak terjadi pernikahan, keduanya wajib menjaga rahasia, karena aib seseorang tidaklah halal untuk disebarkan kecuali ada kebutuhan untuk diberitahukan.

Itulah yang sangat membedakan proses syar’i dengan pacaran. Pada proses pacaran kebanyakannya yang ditampakkan hanyalah kebaikan sekalipun telah lama seklai berkenalan. Akan tetapi, sangat mungkin terjadi banyak kedustaan. Karena, yang diharapkan adalah tetapnya hubungan meski melanggar banyak larangan.

Adapun pada proses secara syar’i, yang dituju adalah ridha Allah subhanahu wa ta’ala dengan tetapnya kehidupan rumah tangga kelak tanpa adanya kedustaan dan tipu daya. Bahkan, dari awal proses berlangsung, karena berbuat tipu daya adalah suatu perkara yang dilarang oleh syariat, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam:
وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“(Dan) Barangsiapa berbuat tipu daya kepada kami maka bukanlah dari golongan kami.” (HR. Muslim)

Selain itu, pada perbuatan menyembunyikan aib menyebabkan mudharat yang dapat merugikan pasangannya kelak. Padahal, memudharati orang lain adalah satu perkara yang dilarang dalam agama. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Janganlah berbuat kemudharatan baik disengaja maupun tidak disengaja.” (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni)

Oleh karena itu, menjelaskan aib sangat penting di dalam proses perkenalan ini. bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa terbukanya aib setelah terjadinya pernikahan dapat menyebabkan faskhun nikah (batalnya pernikahan tersebut) ketika pihak yang dirugikan tidak ridha terhadap perkara itu. akan tetapi pernikahan dapat diteruskan ketika pihak yang dirugikan meridhainya.

c. Setelah data-data didapatkan, maka yang selanjutnya dilakukan adalah melakukan konfirmasi terhadap data tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar informasi yang didapat benar-benar dapat dipercaya dan tidak disesali di kemudian hari. Mencari kejelasan ini dapat kita lakukan melalui orang-orang yang mengenal dekat dengan calon pasangan. Bisa melalui temannya, saudaranya, gurunya, dan sebagainya. Dengan mencari kejelasan ini, tidak berarti kita tidak memercayai perantara yang membantu kita. Hanya saja, karena pengenalan seseorang terhadap orang lain terkadang terbatas. Bisa jadi orang yang satu melihat hal-hal yang tidak diketahui orang lain. Sehingga perlu kita mencari kejelasan informasi dari beberapa sumber.

Perlu dipahami bahwa usaha kita mencari kejelasan hanyalah salah satu ikhtiar untuk memudahkan kita memilih yang terbaik yang tampak secara lahiriah. Sedangkan hasil suatu perkara hanyalah hak Allah saja. Sehingga apabila setelah pernikahan ditemui hal-hal yang bertolak belakang dengan apa yang diketahui sebelumnya, janganlah dia limpahkan semua kesalahan kepada para perantara. Apabila dia melakukan hal tersebut, maka bisa jadi dia murka kepada Sang Pembuat Sebab yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Karena semua perkara yang menimpa dirinya, apa pun sebabnya, adalah takdir Allah subhanahu wata’ala. Maka ketika dia murka terhadap sebab-sebab yang Allah takdirkan, perbuatan itu bisa membawanya untuk murka kepada takdir Allah, naudzubillahi min dzalik. Justru seharusnya dia mengintrospeksi diri dan mendekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Allah subhanahu wa ta’ala memberinya kesabaran dan kebaikan dari pernikahannya tersebut.

Setelah semua perkara ini benar-benar telah dilakukan, maka barulah memikirkan langkah selanjutnya.
Bersambung….


Sumber: Majalah Qudwah Edisi 16 Vol. 2 1435 H/ 2014 M hal. 40-46.
Untuk membaca kelanjutannya, silahkan klik tautan berikut….. Yang Syar’i dalam Mencari Pendamping Hidup (bagian 2 – selesai)

Posting Komentar untuk "Yang Syar’i Dalam Mencari Pendamping Hidup (Bag.1 dari 2)"