Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah

(Penulis: Ustadz Abu Hafiy Abdullah)
Sungguh Allah telah memilih beliau untuk menjadi golongan ulama yang langka dan istimewa. Pada masanya, beliau adalah seorang ulama multi talenta sehingga bagaikan bintang yang paling cemerlang di antara keberadaan ulama besar yang lainnya. Kecemerlangan beliau tersebut terus berlanjut hingga saat ini.

Ya, beliau adalah Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar Al Kinani Al Asqalani Asy Syafi’i. Yang begitu populer dengan sebutan Ibnu Hajar. Gelar Al-Hafizh sangat identik dengan nama beliau.

Beliau dilahirkan pada bulan Sya’ban tahun 773 H di pinggiran sungai Nil di Mesir Kuno. Beliau adalah seorang anak yatim. Sang bapak meninggal saat beliau masih berusia empat tahun. Adapun ibunda beliau telah meninggal dunia sebelumnya. Setelah ayahnya meninggal, beliau diasuh oleh Zakiyyudin Al-Kharrubi yang merupakan kakak tertua Ibnu Hajar, hingga kakaknya tersebut meninggal dunia.


Sebelumnya, sang ayah sempat berwasiat kepada syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan Al-Mishri supaya turut memperhatikan kepentingan Ibnu Hajar sepeninggalnya. Meski anak yatim, semenjak kecil beliau memiliki semangat belajar yang tinggi. Beliau masuk kuttab (semacam Taman Pendidikan Al Qur’an) setelah genap berusia sembilan tahun. Ketika Ibnu Hajar berumur 12 tahun ia ditunjuk sebagai imam shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Sungguh Ibnu Hajar memiliki perjalanan ilmiah yang sangat mengesankan.

Setelah hafal Al-Qur’an, beliau pun mulai mempelajari kitab-kitab induk dan Sunan. Seperti Shahih Al-Bukhari dan yang lainnya. Mendekati usia tiga puluh tahun, beliau terlihat sangat unggul di atas teman-teman sejawatnya. Beliau lebih dalam penguasaan adab, ilmu sya’ir, dan ilmu sejarah dengan berbagai cabangnya.

Sejak awal Ibnu Hajar telah dikaruniai kesenangan untuk meneliti kitab-kitab sejarah (tarikh). Beliau pun banyak menghafal nama-nama perawi sekaligus keadaannya. Kemudian dari tahun 792 H, beliau banyak meluangkan waktu untuk meneliti dan menekuni ilmu sastra Arab. Bahkan, akhirnya beliau menjadi pakar dalam ilmu syair.

Memasuki tahun 793 H, kecintaan beliau berpindah kepada ilmu hadits. Hanya saja, saat itu belum bisa konsentrasi penuh dalam ilmu ini, hingga tahun 796 H. Di saat itulah beliau fokus secara total untuk mencari dan memperdalam ilmu hadits. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan beliau sangat menyukai ilmu hadits. Oleh sebab itu, beliau sangat menaruh perhatian terhadap hadits dalam berbagai bidangnya. Dengan sangat serius, beliau mendalami ilmu ini.

Mempelajari hadits, menurut penuturan beliau dapat menghilangkan hijab (penghalang terkabulnya doa), membukakan pintu, memacu semangat yang tinggi untuk berhasil, dan mendatangkan hidayah kepada jalan yang lurus.

Beliau belajar hadits di antaranya pada seorang imam besar di masanya, Al Hafizh Abul Fadhl Zainuddin Al ‘Iraqi selama sepuluh tahun. Beliau juga mengadakan perlawatan ke berbagai negara seperti Syam, Hijaz, untuk belajar dari sejumlah ulama ternama di berbagai penjuru negeri. Maka, jumlah guru-guru beliau sangat banyak, bahkan tidak terhitung jumlahnya. Yang demikian ini karena beliau tidak merasa cukup dengan keberadaan para ulama di Mesir saja. Sehingga beliau sangat antusias untuk menimba ilmu dari para ulama di berbagai negeri, meskipun harus menempuh medan berat berisiko tinggi dan jarak yang sangat jauh.

Di antara guru besar beliau adalah Afifuddin An-Nasyawari, Ibnul Mulaqqin, Sirajuddin Al-Bulqini, beliau inilah yang pertama kali mengizinkan Ibnu Hajar untuk mengajar dan berfatwa, serta Abul Fadhl Al-‘Iraqi yang sangat menghormati Ibnu Hajar dan mempersaksikan bahwa Ibnu Hajar adalah muridnya yang paling pandai dalam ilmu hadits. Bahkan beliaulah yang memberikan predikat Al Hafizh kepada Ibnu Hajar. Yaitu sebuah gelar yang menunjukkan luasnya penguasaan seseorang terhadap hadits-hadits Nabi shalallahu alaihi wa sallam, baik secara matan (redaksi hadits), maupun secara jalur periwayatan. Lebih dari itu, nama dan keadaan para perawi hadits pada setiap tingkatannya lebih banyak yang dikenal oleh seorang hafizh dari pada yang tidak ia kenal.

Kisah pemberian predikat Al Hafizh kepada Ibnu Hajar adalah ketika detik-detik terakhir menjelang wafat Al Hafizh Al-‘Iraqi. Waktu itu Al-Hafizh Al-Iraqi ditanya, “Siapa yang akan menggantikan Anda setelah Anda meninggal dunia?” Beliau pun menjawab, “Ibnu Hajar, kemudian anakku Abu Zur’ah, kemudian Al-Haitsami”. Al-Hafizh Al-Iraqi adalah seorang ulama besar di masanya yang sangat terkenal sebagai ahli fikih pengikut madzhab Syafi’i. Di samping itu, Al-‘Iraqi juga seorang ulama yang sangat mendalam penguasaannya terhadap ilmu tafsir, dan bahasa Arab.

Karena keistimewaan Al Hafizh Al-‘Iraqi itulah, Ibnu Hajar rela ber-mulazamah dengannya selama sepuluh tahun. Walaupun dalam sepuluh tahun keberssamaan Ibnu Hajar dengan gurunya tersebut, beliau juga pernah melakukan perjalanan ke negeri Syam dan yang lainnya dalam rangka untuk mencari ilmu syar’i. Namun dengan seizin Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian jasa syaikh inilah Ibnu Hajar mencuat menjadi seorang ulama yang sangat mumpuni dalam berbagai cabang ilmu. Sehingga Ibnu Hajar menjadi orang pertama kali yang diberi izin oleh Al-‘Iraqi untuk mengajarkan hadits. Bahkan sang guru memberikan gelar Ibnu Hajar dengan Al-Hafizh dan sangat memuliakannya.

Dalam pujiannya terhadap muridnya, Ibnu Hajar, Al-‘Iraqi pernah mengatakan, “Al-Hafizh adalah seorang syaikh yang alim (berilmu), Al-Fadhil (memiliki keutamaan), Al-Muhaddits (ahli hadits), Al-Mufid (yang memberikan faedah), Al-Mujid (yang suka mengerjakan sesuatu dengan baik), Al-Hafizh yang mutqin (kuat hafalannya), yang dhabith (kuat, teliti, dan seksama), yang tsiqah (terpercaya), yang ma’mun (dapat dipercaya).”

Guru-guru Al Hafizh Ibnu Hajar yang lain sangat banyak. Para guru tersebut merupakan ulama-ulama yang ternama di zamannya. Di antaranya adalah Abdurrahim bin Razin. Dari beliau ini Al Hafizh mendengarkan dan belajar Shahih Al Bukhari. Guru yang lain adalah Al ‘Izz bin Jama’ah, yang Ibnu Hajar banyak mengambil ilmu darinya. Tercatat juga nama Al Hummam al Khawarizmi. Dalam memperdalam ilmu bahasa Arab, Al Hafizh belajar kepada Al Fairuz Abadi yang merupakan penyusun kitab Al Qamus (Al Muhith). Untuk masalah Qira’atus-sab’ah (tujuh macam bacaan Al-Qur’an), beliau belajar kepada Al Burhan At-Tanukhi. Dan yang lainnya. Sungguh luar biasa, jumlah guru beliau mencapai 500 syaikh dalam berbagai disiplin ilmu.

Kapasitas keilmuan Al Hafizh Ibnu Hajar yang diakui oleh para ulama besar di zamannya menjadi perhatian para penuntut ilmu dari seluruh penjuru dunia. Mereka rela berbondong-bondong menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk menimba ilmu dari beliau. Oleh karena itu, beliau memiliki lebih dari lima ratus murid. Sebagaimana diungkapkan oleh salah satu murid beliau yang bernama As-Sakhawi. Bahkan, beliau mengatakan bahwa seluruh tokoh ulama dari berbagai madzhab berguru kepada Ibnu Hajar. Sehingga, layaknya seorang ulama yang tersohor, majelis beliau pun selalu padat dan penuh dengan penuntut ilmu.

Di antara murid beliau yang sangat menonjol dan terkenal adalah Al-Imam As-Sakhawi. Ia adalah murid istimewa Al-Hafizh Ibnu Hajar, di samping sederatan nama besar lainnya; Al-Biqa’i, Zakaria Al-Anshari, Ibnu Qadhi Syuhbah, Ibnu Tahgri Bardi, Ibnu Fahd Al-Makki, dan masih banyak yang lainnya.

Ibnu Hajar menghabiskan umur beliau untuk menuntut ilmu dan mendakwahkannya. Baik dakwah dengan lisan ataupun tulisan. Banyaknya karya ilmiah yang beliau tulis dalam berbagai cabang ilmu adalah sebagai bukti. Satu hal yang sangat luar biasa, karena beliau masih bisa menyempatkan diri untuk membuat karya tulis di sela-sela kesibukan beliau yang begitu padat. Bahkan karya tulis kitab besar yang berjilid-jilid. Salah satu tulisan beliau yang sangat terkenal adalah Fathul Bari yang merupakan syarah (penjelasan) Shahih Al-Bukhari. Sampai digambarkan oleh sebagian ulama, bahwa seandainya kitab beliau hanya Fathul Bari, maka sudah cukup menggambar kefaqihan dan keilmuan beliau yang sangat luas mendalam.

Fathul Bari merupakan syarah yang sangat identik dengan Kitab Shahih Al-Bukhari. Meskipun ada ulama lain yang juga mensyarah kitab ini. Menurut penuturan As-Sakhawi karya tulis Ibnu Hajar mencapai lebih dari 270 kitab. Adapun penelitian para ulama kontemporer mengindikasikan bahwa karya tulis beliau lebih dari 282 kitab. Itupun belum ditambah kitab-kitab beliau yang tidak tercetak.

Selain Fathul Bari yang merupakan karya monumental, masih banyak kitab-kitab penting beliau yang menjadi rujukan ulama dan kaum muslimin hingga saat ini. Sebagai contoh: Tahdzibut Tahdzib, Lisanul Mizan, At-Talhisul Habir, Nuzhatun Nadhar, Bulughul Maram, Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah, dan masih banyak lagi lainnya.

Meskipun Ibnu Hajar diberi anugerah sekian banyak keutamaan, namun beliau adalah sosok yang penuh dengan kerendahan hati dan sikap wara’. Oleh sebab itu, tatkala datang tawaran kepada beliau untuk menjadi qadhi (hakim), beliau menolak tawaran tersebut. Beliau menyadari bahwa mengemban tugas sebagai hakim bukanlah perkara yang ringan. Bahkan sebuah tanggung jawabnya besar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Tatkala Ash-Shadr Al-Munawi meminta beliau supaya menggantikan posisinya sebagai hakim, beliau pun menolaknya. Selain itu datang pula tawaran dari Sulthan Al Muayyad kepada beliau supaya menjadi hakim. Yaitu Hakim Agung di Mesir waktu itu.

Beliau sempat menyesal setelah menerima jabatan tersebut. Karena banyaknya fitnah dan godaan duniawi, beliau pun mengundurkan diri. Pada tahun 828, Sulthan memintanya lagi dengan sangat agar beliau menerima jabatan sebagai hakim kembali. Sehingga Ibnu Hajar pun menerima jabatan tersebut. Kaum muslimin pun sangat bergembira karena memandang beliaulah orang yang paling berhak mendudukinya. Kekuasaan beliau pun ditambah, yaitu diserahkannya kehakiman kota Syam kepada beliau pada tahun 833 H. Beliau telah melanglang buana di dunia peradilan selama lebih dari tiga puluh tahun.

Disebutkan oleh sebagian hali sejarah yang menulis biografi Ibnu Hajar, sebuah kejadian unik yang pernah beliau alami selama menjabat sebagai hakim. Kisah ini juga dinukilkan oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitabul ilmi, kitab karya beliau.

Sebagai hakim besar di kota Mesir, Ibnu Hajar senantiasa berangkat ke tempat kerjanya dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda atau keledai dengan arak-arakannya. Suatu saat, beliau dengan keretanya tersebut melewati seorang Yahudi di Mesir. Orang Yahudi itu berprofesi sebagai penjual minyak. Sehingga dia terlihat berpenampilan kotor dan kumuh. Tatkala Ibnu Hajar dan rombongan lewat di depannya, ia pun segera mendekat dan menghentikannya. Kemudian dia mengatakan kepada Ibnu Hajar, “Sesungguhnya Nabi kalian telah berkata, ‘Sesungguhnya dunia adalah penjara bagi orang yang beriman, dan surga bagi orang kafir.’ Namun, kenapa profesi anda sebagai hakim di Mesir, dengan arak-arakan seperti ini, serta kenikmatan yang melimpah. Sementara aku, kata orang Yahudi tersebut, berada dalam penderitaan dan kesengsaraan seperti ini.” Maka Ibnu Hajar pun mengatakan, “Aku dengan kondisiku yang penuh dengan kemewahan dan kenikmatan dunia ini, bila dibandingkan dengan kenikmatan surga adalah seperti sebuah penjara. Adapun penderitaanmu di dunia ini, jika dibandingkan dengan siksa neraka adalah seperti surga yang penuh dengan kenikmatan.” Spontan orang Yahudi itupun langsung mengucapkan, ‘Asyhadu alla ilahaillallah wa asyahdu anna muhammad rasulullah.” Akhirnya ia pun memeluk agama Islam.

Pembaca, sebagai manusia biasa, Ibnu Hajar tentu tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan. Beliau memiliki akidah yang tercampur dengan pemikiran Asy’ariyah. Beliau termasuk ulama yang terkadang menakwil sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Dan terkadang beliau mengalami kegoncangan dalam akidahnya tersebut.

Meskipun demikian, seseorang tidak boleh menjadikan ketergelinciran beliau ini sebagai batu loncatan untuk mencela. Apalagi memvonis beliau sebagai ahli bid’ah. Karena, secara umum manhaj yang beliau tempuh adalah manhaj ahlus sunnah wal jama’ah. Hal ini bisa dibuktikan dengan pembelaan beliau terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sangat besar. Di samping itu, para ulama juga telah memberikan pujian dan rekomendasi terhadap beliau. Oleh sebab itu, para ulama dari masa ke masa tidak ada yang menggolongkan beliau sebagai ahli bid’ah. Tidak pula melarang kaum muslimin secara umum untuk mengambil faedah dari karya tulis beliau.

Demikianlah sepenggal kisah tentang berbagai keutamaan dan keistimewaan Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah. Sungguh sangat jarang seorang ulama yang diberi kemampuan komplit sebagaimana beliau. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas jasa-jasa beliau terhadap kaum muslimin, dan mengampuni beliau dengan rahmat dan maghfirah-Nya. Wabillahit taufiq. 


Sumber: Majalah Qudwah Edisi 4 Vol 1 1434 H/ 2013 M Hal. 81-87

Posting Komentar untuk "Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah"