Al-Muwaththa’
(Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Hammam)
Al-Muwaththa’ atau Muwaththa’ Malik merupakan kitab hadits sekaligus kitab fiqih yang disusun oleh Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir Al Ashbahi rahimahullah, seorang imam kaum muslimin yang menjadi pelopor Madzhab Maliki.
Kitab ini merupakan salah satu dari Kutubut Tis’ah (sembilan kitab utama tentang hadits di kalangan Sunni). Merupakan kitab tertua di bidang hadits dengan metode penyusunan menurut klasifikasi hukum fiqih yang didukung dengan hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam atau ucapan shahabat dan tabiin.
Kitab Al-Muwaththa’ menghimpun hadits-hadits Nabi shalallahu alaihi wa sallam, baik bersambung sanadnya maupun tidak. Juga qaul (ucapan) shahabat, qaul tabi’in, ijma’ (kesepakatan) ahlul Madinah, dan pendapat Imam Malik sendiri.
Dalam menyusun kitab ini, Imam Malik dalam beberapa urutan. Penyeleksian terhadap hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam, kemudian ucapan atau fatwa shahabat, lalu fatwa tabi’in, ijma’ ahli Madinah, baru pendapat Imam Malik sendiri. Bila urutan yang pertama (hadits Nabi shalallahu alaihi wa sallam) mencukupi, maka beliau tidak mengambil urutan selanjutnya dalam penentuan suatu hukum.
Selama kehidupannya, Imam Malik sering memperbarui Muwaththa’. Jadilah kitab ini mencerminkan pembelajaran dan pengetahuan beliau selama lebih dari empat puluh tahun.
Kita juga perlu mengetahui bahwa secara asal penulisan, Imam Malik rahimahullah tidak memberikan nomor dalam setiap hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Di kemudian hari, baru beberapa ulama menambahkan nomor pada kitab Al-Muwaththa’ untuk memudahkan perujukan hadits. Jadi, nomor yang kita dapati dalam Al Muwaththa’ adalah bukan dari sang Imam.
Penamaan Al-Muwaththa’ berasal dari Imam Malik sendiri. Hanya saja, ulama’ berbeda pendapat tentang mengapa kitab tersebut dinamakan Al-Muwaththa’. Ada beberapa pendapat ulama yang menafsirkan sebab penamaan kitab tersebut. Di antaranya adalah:
Pertama, sebelum kitab ini tersebut disebarluaskan, Imam Malik telah melakukan sosialisasi dengan menyodorkan karyanya tersebut di hadapan 70 ulama fiqih Madinah. Mereka pun menyepakatinya. Hal ini seperti yang terdapat dalam sebuah riwayat As-Suyuthi, bahwa Imam Malik rahimahullah berkata, “Aku mengajukan kitabku ini kepada 70 ahli fiqih Madinah. Mereka semua setuju dengan kitabku tersebut, maka aku namai dengan Al-Muwaththa’ (yakni: yang disepakati).”
Kedua, penamaan kitab dengan Al-Muwaththa’ karena kitab tersebut memudahkan khalayak umat Islam dalam memilih dan menjadi pegangan hidup dalam beraktifitas dan beragama. Sehingga, Muwaththa’ bermakna pijakan.
Ketiga, karena kitab Al-Muwaththa’ merupakan perbaikan terhadap kitab-kitab fiqih sebelumnya.
Sebetulnya ada kitab hadits Muwaththa’ selain yang dikarang Imam Malik. Di antaranya yang terkenal adalah Al Muwaththa’ karya Ibnu Abi Dzi’b Al Madani rahimahullah (w 158 H), dan Al Muwaththa’ karya Abu Muhammad Al Marwazi rahimahullah (w 293 H). Namun, bila kita mendengar kata Muwaththa’, maka secara umum yang dimaksud adalah kitab Muwaththa’ tulisan Imam Malik rahimahullah.
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah hadits yang terdapat dalam Al-Muwaththa’. Sebagian ulama menyatakan 500 hadits, 700 hadits, 1612 hadits, 1726 hadits, 1800 hadits, dan seterusnya. Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan sumber periwayatan dan perbedaan cara penghitungan.
Ada ulama yang menghitung hanya berdasar jumlah hadits yang disandarkan kepada Nabi saja. Namun ada pula yang menghitung dengan menggabungkan fatwa shahabat, fatwa tabi’in yang termaktub dalam Al-Muwaththa’.
Ada empat kriteria yang dikemukakan Imam Malik dalam mengkritisi periwayatan hadits yang beliau tuangkan dalam kitab ini. keempat kriteria tersebut adalah: Peiwayat hadits bukan orang yang berperilaku jelek, periwayat bukan ahli bid’ah, periwayat bukan orang yang suka berdusta dalam hadits, dan yang terakhir periwayat bukan orang yang mengetahui ilmu, tetapi tidak mengamalkannya.
Menurut sebagian ulama, kitab ini terdiri dari 2 juz, 61 ab, dan 1824 hadits. Mayoritas pembahasan di dalamnya berisi tentang fiqih. Pembahasan lain berupa tauhid, akhlak dan Al-Qur’an, serta sirah Nabi shalallahu alaihi wa sallam.
KOMENTAR PARA ULAMA’, KRITIK TERHADAP AL-MUWATHTHA’, DAN KUALITAS HADITSNYA
Meskipun Imam Malik rahimahullah telah berupaya seselektif mungkin dalam menyaring hadits-hadits yang diterima untuk dihimpun, tetapi para ulama hadits berbeda pendapat dalam memberikan komentar dan penilaian terhadap Al-Muwaththa’ dan kualitas hadits-haditsnya:
Kendati demikian, hadits-hadits yang terdapat di dalamnya banyak yang tidak bersambung sanadnya. Sehingga diragukan keshahihannya. Sebab, untuk mencapai tingkatan hadits shahih dibutuhkan kekuatan hapalan periwayat hadits dan kebersambungan sanadnya. Maka, hal ini pun menimbulkan kritikan dan keraguan dalam menetapkan kepastian suatu hukum.
Kitab Al-Muwaththa’ dijabarkan oleh beberapa ulama’, di antaranya adalah; Abu Umar bin Abdil Barr An Namri Al Qurthubi (kitab At-Tamhid lima fi Al-Muwaththa’ min Al-Ma’ani wa Al-Asanid dan kitab Al-Istidzkar fi Syarh Madzhahib Ulama’ Al-Amshar), As Suyuthi (kitab Kasy Al-Mughti’ fi Syarh Al-Muwaththa’ seta kitab Tanwirul Hawalik), dan Abu Walid Al Bajdi (kitab Al-Muntaqa). Allahu a’lam.
Sumber: Majalah Qudwah Edisi 11 Vol. 1 1434 H/ 2013 M hal. 109-111.
Al-Muwaththa’ atau Muwaththa’ Malik merupakan kitab hadits sekaligus kitab fiqih yang disusun oleh Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir Al Ashbahi rahimahullah, seorang imam kaum muslimin yang menjadi pelopor Madzhab Maliki.
Kitab ini merupakan salah satu dari Kutubut Tis’ah (sembilan kitab utama tentang hadits di kalangan Sunni). Merupakan kitab tertua di bidang hadits dengan metode penyusunan menurut klasifikasi hukum fiqih yang didukung dengan hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam atau ucapan shahabat dan tabiin.
Kitab Al-Muwaththa’ menghimpun hadits-hadits Nabi shalallahu alaihi wa sallam, baik bersambung sanadnya maupun tidak. Juga qaul (ucapan) shahabat, qaul tabi’in, ijma’ (kesepakatan) ahlul Madinah, dan pendapat Imam Malik sendiri.
Dalam menyusun kitab ini, Imam Malik dalam beberapa urutan. Penyeleksian terhadap hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam, kemudian ucapan atau fatwa shahabat, lalu fatwa tabi’in, ijma’ ahli Madinah, baru pendapat Imam Malik sendiri. Bila urutan yang pertama (hadits Nabi shalallahu alaihi wa sallam) mencukupi, maka beliau tidak mengambil urutan selanjutnya dalam penentuan suatu hukum.
Selama kehidupannya, Imam Malik sering memperbarui Muwaththa’. Jadilah kitab ini mencerminkan pembelajaran dan pengetahuan beliau selama lebih dari empat puluh tahun.
Kita juga perlu mengetahui bahwa secara asal penulisan, Imam Malik rahimahullah tidak memberikan nomor dalam setiap hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Di kemudian hari, baru beberapa ulama menambahkan nomor pada kitab Al-Muwaththa’ untuk memudahkan perujukan hadits. Jadi, nomor yang kita dapati dalam Al Muwaththa’ adalah bukan dari sang Imam.
Penamaan Al-Muwaththa’ berasal dari Imam Malik sendiri. Hanya saja, ulama’ berbeda pendapat tentang mengapa kitab tersebut dinamakan Al-Muwaththa’. Ada beberapa pendapat ulama yang menafsirkan sebab penamaan kitab tersebut. Di antaranya adalah:
Pertama, sebelum kitab ini tersebut disebarluaskan, Imam Malik telah melakukan sosialisasi dengan menyodorkan karyanya tersebut di hadapan 70 ulama fiqih Madinah. Mereka pun menyepakatinya. Hal ini seperti yang terdapat dalam sebuah riwayat As-Suyuthi, bahwa Imam Malik rahimahullah berkata, “Aku mengajukan kitabku ini kepada 70 ahli fiqih Madinah. Mereka semua setuju dengan kitabku tersebut, maka aku namai dengan Al-Muwaththa’ (yakni: yang disepakati).”
Kedua, penamaan kitab dengan Al-Muwaththa’ karena kitab tersebut memudahkan khalayak umat Islam dalam memilih dan menjadi pegangan hidup dalam beraktifitas dan beragama. Sehingga, Muwaththa’ bermakna pijakan.
Ketiga, karena kitab Al-Muwaththa’ merupakan perbaikan terhadap kitab-kitab fiqih sebelumnya.
Sebetulnya ada kitab hadits Muwaththa’ selain yang dikarang Imam Malik. Di antaranya yang terkenal adalah Al Muwaththa’ karya Ibnu Abi Dzi’b Al Madani rahimahullah (w 158 H), dan Al Muwaththa’ karya Abu Muhammad Al Marwazi rahimahullah (w 293 H). Namun, bila kita mendengar kata Muwaththa’, maka secara umum yang dimaksud adalah kitab Muwaththa’ tulisan Imam Malik rahimahullah.
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah hadits yang terdapat dalam Al-Muwaththa’. Sebagian ulama menyatakan 500 hadits, 700 hadits, 1612 hadits, 1726 hadits, 1800 hadits, dan seterusnya. Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan sumber periwayatan dan perbedaan cara penghitungan.
Ada ulama yang menghitung hanya berdasar jumlah hadits yang disandarkan kepada Nabi saja. Namun ada pula yang menghitung dengan menggabungkan fatwa shahabat, fatwa tabi’in yang termaktub dalam Al-Muwaththa’.
Ada empat kriteria yang dikemukakan Imam Malik dalam mengkritisi periwayatan hadits yang beliau tuangkan dalam kitab ini. keempat kriteria tersebut adalah: Peiwayat hadits bukan orang yang berperilaku jelek, periwayat bukan ahli bid’ah, periwayat bukan orang yang suka berdusta dalam hadits, dan yang terakhir periwayat bukan orang yang mengetahui ilmu, tetapi tidak mengamalkannya.
Menurut sebagian ulama, kitab ini terdiri dari 2 juz, 61 ab, dan 1824 hadits. Mayoritas pembahasan di dalamnya berisi tentang fiqih. Pembahasan lain berupa tauhid, akhlak dan Al-Qur’an, serta sirah Nabi shalallahu alaihi wa sallam.
KOMENTAR PARA ULAMA’, KRITIK TERHADAP AL-MUWATHTHA’, DAN KUALITAS HADITSNYA
Meskipun Imam Malik rahimahullah telah berupaya seselektif mungkin dalam menyaring hadits-hadits yang diterima untuk dihimpun, tetapi para ulama hadits berbeda pendapat dalam memberikan komentar dan penilaian terhadap Al-Muwaththa’ dan kualitas hadits-haditsnya:
- Sufyan bin Uyainah dan As-Suyuthi menyatakan, “Seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Malik adalah shahih, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang terpecaya.”
- Abu Bakar Al-Abhari berpendapat, bahwa tidak semua hadits dalam Al-Muwaththa’ shahih. Terdapat 222 hadits mursal (seorang tabi’in langsung menyandarkan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, tanpa melalui jalan shahabat), 623 hadits mauquf (sanadnya hanya sampai pada shahabat saja), dan 285 hadits maqthu’ (sanadnya hanya sampai pada tabi’in saja0.
- Ibnu Hajar Al-Asqalani menyatakan bahwa hadits-hadits yang termuat dalam Al-Muwaththa’ adalah shahih menurut Imam Malik dan pengikutnya.
- Ibnu Hazm dalam penilaiannya yang termaktub dalam Maratib Ad-Diniyah, mengatakan bahwa dalam Al Muwaththa’ ada 500 hadits musnad (sanadnya bersambung sampai Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam(, 300 hadits mursal, dan 70 hadits dhaif (lemah) yang ditinggalkan Imam Malik. Sedangkan menurut Ibnu Hajar, di dalamnya ada hadits yang mursal dan munqathi’ (terputus sanadnya).
- Al-Ghafiqi berpendapat dalam Al-Muwaththa’ ada 27 hadits mursal dan 15 hadits mauquf.
Kendati demikian, hadits-hadits yang terdapat di dalamnya banyak yang tidak bersambung sanadnya. Sehingga diragukan keshahihannya. Sebab, untuk mencapai tingkatan hadits shahih dibutuhkan kekuatan hapalan periwayat hadits dan kebersambungan sanadnya. Maka, hal ini pun menimbulkan kritikan dan keraguan dalam menetapkan kepastian suatu hukum.
Kitab Al-Muwaththa’ dijabarkan oleh beberapa ulama’, di antaranya adalah; Abu Umar bin Abdil Barr An Namri Al Qurthubi (kitab At-Tamhid lima fi Al-Muwaththa’ min Al-Ma’ani wa Al-Asanid dan kitab Al-Istidzkar fi Syarh Madzhahib Ulama’ Al-Amshar), As Suyuthi (kitab Kasy Al-Mughti’ fi Syarh Al-Muwaththa’ seta kitab Tanwirul Hawalik), dan Abu Walid Al Bajdi (kitab Al-Muntaqa). Allahu a’lam.
Sumber: Majalah Qudwah Edisi 11 Vol. 1 1434 H/ 2013 M hal. 109-111.
Posting Komentar untuk "Al-Muwaththa’"