Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Yang Syar’i Dalam Mencari Pendamping Hidup (Bag.2 – selesai)

(Penulis: Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifa’i Ngawi)
Setelah pada episode yang lalu kita telah melihat tahapan-tahapan awal proses syar’i dalam mencari pendamping hidup, maka pada kesempatan ini kita lanjutkan pembahasan selanjutnya. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
  1. Mempertimbangkan calon yang ada dengan musyawarah dan shalat istikharah.
Pada tahapan ini ada dua perkara yang harus diperhatikan:
-          Bermusyawarah dengan keluarga dan orang-orang yang mempunyai ilmu agama serta pandangan yang luas tentang berumah tangga.

Setelah data yang didapat bisa diyakini kebenarannya, hendaknya sebelum menentukan pilihan dia bermusyawarah terlebih dahulu, terutama dengan keluarganya dan orang-orang yang mempunyai wawasan yang luas terhadap kehidupan berumah tangga. Karena hidup berumah tangga bukanlah hidup hanya bersama dengan pasangannya saja, akan tetapi menggabungkan dua keluarga yaitu keluarga pihak istri dan suami, dan masing-masing dari keduanya diharapkan mempunyai pergaulan yang baik dengan pihak-pihak tersebut.


Mengapa musyawarah didahulukan? Karena musyawarah adalah suatu perkara yang mempunyai kedudukan yang penting dalam syariat Islam. Allah mendeskripsikan hamba-hamba-Nya yang taat dalam menjaga syariat sebagai orang-orang yang bermusyawarah dalam urusan-urusan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabbnya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka….” (QS. As Syura: 38).

Bahkan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang senantiasa berada dalam bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala, dalam setiap langkahnya juga Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan untuk bermusyawarah dengan para shahabatnya. Ini ditekankan kepada beliau agar kita sebagai umatnya dapat mencontoh belau dalam perkara tersebut. Perintah ini sebagaimana tersebut dalam firman Allah:
وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“….dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159).

Itulah salah satu alasan mengapa kita tidak bisa meninggalkan keluarga ketika hendak memilih pasangan hidup. Apalagi bagi seorang wanita, yang dia membutuhkan seorang wali ketika hendak menikah, maka dia lebih memiliki kepentingan yang sangat untuk bermusyawarah dengan keluarganya.

Jika terdapat perbedaan pandangan dalam musyawarah tersebut, hendaknya dicari titik temu dan dibicarakan dengan baik agar langkah yang diambil selanjutnya mendatangkan berkah dan bukannya malah menimbulkan mudarat yang lebih besar. Apabila alasan-alasan keluarga untuk tidak menyetujui calon yang hendak dipilih adalah suatu alasan yang masuk akal, tidak bertentangan dengan syariat, maka tidak mengapa bersabar hingga Allah subhanahu wa ta’ala datangkan kemudahan dengan orang lain yang lebih sesuai, di waktu yang akan datang – insya Allah.

Kadang Allah memberikan isyarat akan baiknya suatu perkara bagi seseorang ketika perkara itu dimudahkan kepada orang tersebut, dan memberikan suatu isyarat akan buruknya suatu perkara bagi seseorang dengan dipersulitnya perkara tersebut bagi orang itu. Bukankah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di dalam Shahih-nya:
كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
“Maka setiap orang akan dimudahkan kepada apa yang diciptakan baginya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Maka bukan tidak mungkin, sulit pada waktu yang pertama, tapi mudah di kali yang kedua, karena mungkin memang jodohnya ada pada orang yang kedua. Wallahu a’lam. 

Perlu dipahami bahwa manusia hanya dapat berencana, sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala yang menentukan akhirnya. Dan yakinlah bahwa akhir yang Allah tentukan bagi kita adalah yang terbaik bagi kita. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
yang artinya, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).

-          Setelah musyawarah dan mayoritas keluarga berpendapat tidak mengapa untuk proses ini diteruskan, maka hendaknya seseorang melakukan Shalat Istikharah untuk menentukan pilihannya.
Shalat istikharah adalah shalat dua rakaat disertai dengan doa memohon pilihan yang terbaik kepada Allah dan untuk dimudahkan urusan tersebut kepadanya, serta dicondongkan hatinya dengannya. Seseorang melakukan shalat ini dalam rangka bertawakal (menyerahkan urusan) kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang telah diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala:
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menjelaskan shalat istikharah ini dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma, beliau radhiallahu anhu berkata (yang artinya), “Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mengajari kami untuk istikharah dalam setiap perkara seluruhnya sebagaiaman mengajari kami satu surat dari Al Qur’an. Beliau bersabda, ‘Apabila salah seorang dari kalian mempunyai rancana untuk melakukan sesuatu, hendaknya dia ruku’ (melakukan shalat) dua rakaat yang bukan shalat fardhu, kemudian hendaknya dia membaca: Ya Allah sesungguhnya aku memohon pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu yang ada pada-Mu, dan memohon kekuasaan-Mu (untuk menyelesaikan urusanku) dengan kekuasaan-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu sebagian dari karunia-karunia-Mu yang agung. Karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa sedangkan aku tidak kuasa, dan Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidaklah mengetahui perkara-perkara yang gaib (tersembunyi). Ya Allah jikalau Engkau mengetahui urusan ini baik bagiku, agamaku, kehidupanku, serta baik akibat/akhirnya bagiku (di dunia maupun akhirat) maka takdirkanlah dan mudahkanlah urusan itu bagiku, kemudian berkahilah aku dalam urusan itu. Dan kalau Engkau mengetahui bahwa urusan itu berbahaya bagiku, agamaku, kehidupanku, serta buruk akibatnya bagiku baik di dunia maupun akhirat, maka palingkan urusan itu dariku dan palingkanlah aku dari urusan itu. Takdirkanlah bagiku kebaika di mana pun aku berada dan jadikanlah aku ridha untuk menerimanya.’ Kemudian dia sebutkan urusannya tersebut.”

Sebagaimana yang kita lihat dalam hadits itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam membimbing kita untuk memohon pilihan yang terbaik dari beberapa pilihan yang kita anggap baik. Sehingga perlu diperhatikan, shalat istikharah ini memang diberlakukan ketika menghadapi permasalahan yang ada padanya kebaikan akan tetapi kita kesulitan menentukan mana yang terbaik. Sehingga para ulama menjelaskan shalat istikharah tidak dilakukan pada keadaan sudah jelas kejelekannya. Semisal, datangnya seorang laki-laki yang masih banyak melakukan kemaksiatan kepada seorang wanita shalihah, maka dalam kondisi seperti ini tidak dibutuhkan shalat istikharah karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan meridhai keadaan laki-laki tersebut.

Insya Allah, setelah shalat istikharah, seseorang akan mendapatkan kecondongan langkah yang akan diambilnya. Apakah akan meneruskan proses tersebut, ataukah menghentikannya. Akan tetapi, kadang kala kecondongan itu belum muncul sekalipun telah dilakukan musyawarah ataupun shalat istikharah. Maka pada kondisi demikian hendaknya seseorang meneruskan langkahnya seraya melihat ke mana Allah memudahkan dirinya. Jika Allah mudahkan perkara tersebut baginya setelah shalat istikharah yang dia lakukan, maka memang itulah yang terbaik baginya. Jika diteruskan ternyata terdapat kesulitan, maka hendaknya di berpaling dan ridha dengan apa yang Allah subhanhu wa ta’ala takdirkan. Bukankah di dalam doa shalat istikharah, seseorang meminta pilihan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala anggap baik baginya? Maka sepantasnya seseorang menerima dengan lapang dada apa yang Allah mudahkan baginya setelahnya, dan meyakini bahwa takdir yang Allah dekatkan dan mudahkan baginya itulah yang terbaik baginya.
  1. Bertemu dan nazhar (melihat calon pasangan)
Ketika tahapan-tahapan tersebut telah dilakukan, maka masing-masing pihak memberikan jawaban apakah proses akan dilanjutkan atau diakhiri saja. Maka jika keputusannya adalah dilanjutkan, tahapan selanjutnya adalah bertemu untuk saling melihat atau nazhar. 

Nazhar adalah satu tahapan dalam proses syar’i di mana seorang laki-laki mendatangi pihak wanita untuk melihat wanita yang hendak dinikahinya. Hukum nazhar ini adalah sunnah, karena Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Jika salah seorang dari kalian hendak meminang seorang wanita, jika dia mampu untuk melihat kepada apa yang bisa membuatnya (tertarik) untuk menikahinya maka lakukanlah.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Dalam riwayat yang lain beliau bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah kepadanya, maka sesungguhnya (dengan) melihat lebih memungkinkan untuk terjadinya kasih sayang diantara kalian berdua.” (HR. At-Tirmidzi)

Demikianlah syariat Islam ini adalah syariat yang penuh berkah, ketika segala sesuatu dilihat dari segala sisinya yang memberikan manfaat bagi manusia. Begitu pula dalam permasalahan ini. syariat Islam menginginkan seseorang membangun rumah tangganya di atas kejelasan dan kemantapan, sehingga disyariatkanlah proses nazhar ini agar masing-masing pihak mantap dengan pilihannya. Oleh karenanya, sekalipun seseorang sudah sangat yakin dengan pilihannya, dan telah mendapatkan kejelasan fisik pasangannya dari beberapa pihak sehingga dia merasa tidka perlu untuk melihat lagi, hendaknya dia tetap melakukan proses nazhar ini untuk menjalankan sunnah, karena sesuatu yang berjalan di atas tuntunan syariat akan memberikan keberkahan dan membawa kepada akhir yang baik, insya Allah.

Dan sebaiknya nazhar dilakukan sendiri oleh orang yang berkepentingan dengan bertemu secara langsung dengan calon yang hendak di nazhar karena terkadang pandangan seseorang terhadap kecantikan atau kebagusan fisik seseorang berbeda-beda, sehingga sebaiknya dilakukan sendiri. Sekalipun demikian, nazhar boleh dilakukan dengan perantara orang lain yaitu dengan cara mengutus orang lain (wanita) untuk melihat wanita yang hendak di-nazhar, sebagaimana pernah dilakukan Nabi shalallahu alaihi wa sallam ketika hendak melihat seorang jariyah (budak perempuan), beliau mengutus Ummu Sulaim untuk melihatnya, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya.

Pada tahapan nazhar ini,ada beberapa syarat yang harus diperhatikan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Syarhul Mumti’ dan Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam Mulakhash Fiqh menyebutkan syarat-syarat tersebut. Syarat-syarat tersebut di antaranya adalah:
-          Hendaknya laki-laki yang hendak melakukan nazhar ini benar-benar berniat untuk menikahi wanita yang akan di-nazhar-nya, bukan sekedar mencari kesempatan menikmati melihat wanita tersebut.
Yaitu, dari proses yang dia jalani sebelumnya sudah didapatkan pada dirinya kecondongan yang besar kepada wanita tersebut, sehingga nazhar sekadar mencari kecocokan fisik antara keduanya. Maka terkadang ada seseorang telah mantap memilih, akan tetapi setelah nazhar ternyata tidak muncul kecondongan pada fisiknya, kemudian memutuskan untuk menghentikan proses. Hal ini diperbolehkan, sekalipun terkadang ada pula sebagian orang yang tidak mendapatkan kecocokan fisik ketika melihat akan tetapi tetap bisa menerima calon pasangannya dengan mempertimbangkan kebaikan-kebaikan calonnya tersebut dari sisi yang lain, terutama dari sisi agamanya, dan ternyata setelah menjalani kehidupan bersama pasangannya tersebut dia mendapatkan kebahagiaan.

-          Hendaknya seseorang melakukan nadzhar ketika sudah kuat persangkaannya akan diterima lamarannya
Demikianlah, nazhar dilakukan ketika kedua belah pihak sudah sama-sama berkeinginan kuat untuk melanjutkan proses ke arah yang lebih serius. Masing-masing sudah memiliki kecondongan kepada calon pasangannya dari data dan proses yang sudah dia jalani sebelumnya. Nazhar hanya untuk lebih memantapkan hati agar semakin besar keinginan untuk menikahi. Sehingga, ketika telah diketahui dari permulaan bahwa tidak ada kecondongan pihak wanita untuk menerima (dengan tampaknya beberapa indikasi atau perkara yang menunjukkannya), maka jangan terus mencari kesempatan, dan mendesak untuk dilakukan nazhar. Karena nazhar dilakukan adalah untuk memantapkan hati kedua pihak untuk menikah dengan ridha masing-masingnya. Sehingga melihat wanita ajnabiah (wanita bukan mahram) yang hukum asalnya tidak boleh menjadi diperbolehkan dengan maksud ini. Maka, jika dari pihak wanita sudah tidak ada niatan untuk melanjutkan proses, hilanglah uzur syar’i untuk melihat kepadanya.

-          Nazhar dilakukan tanpa khalwat (berdua-dua) dan harus ditemani dengan mahram si wanita
Nazhar tidak boleh dilakukan dengan khalwat (berdua-dua) dan tanpa mahram si wanita. Karena meski sudah dalam proses menuju pernikahan, tetaplah dia sebagai wanita ajnabiah (asing) bagi laki-laki yang hendak melamarnya. Dan bagi wanita ajnabiah dengan laki-laki ajnabi maka Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah berkhlawat seorang laki-laki dengan seorang wanita kecuali bersama wanita tersebut ada mahramnya (yaitu laki-laki yang haram menikahinya), dan janganlah bepergian seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (HR. Muslim dari shahabat Ibnu Abbas radhiallahua nhuma)

-          Nazhar harus dilakukan tanpa syahwat
Sesungguhnya melihat kepada lawan jenis dengan menyengaja adalah suatu perkara yang dilarang didalam syariat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An Nur: 30)

Namun, karena adanya kebutuhan bagi orang yang hendak menikah untuk mengetahui keadaan yang akan dinikahinya, maka melihat itu diperbolehkan. Sekalipun demikian, nazhar tidak boleh dilakukan dengan disertai syahwat. Karena nazhar dimaksudkan untuk mencari tahu keadaan fisik calon yang hendak dinikahi, nazhar bukan dilakukan untuk bersenang-senang melihat kepada lawan jenis. Oleh karenanya, bagi laki-laki yang hendak melihat, dilarang melihat perkara-perkara yang dapat membangkitkan syahwat. Sedangkan bagi wanita yang hendak dilihat, dilarang pula memperlihatkan dan mengenakan sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat.

-          Bagian yang diperbolehkan dilihat
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan bagian tubuh yang boleh dilihat karena tidak ditemui dalil yang menjelaskan tentang batasannya. Akan tetapi, para ulama menjelaskan bahwa ketika tidak ditemui batasannya secara khusus, maka dikembalikan kepada kebiasaan (‘urf). Dan kebiasaan yang dimaksud di sini adalah kebiasaannya para shahabat, bagaiamana mereka melakukan perkara tersebut. Dalam perkara ini, dari beberapa atsr para shahabat didapati bahwa perkara-perkara yang boleh dilihat nampak di hadapan mahramnya, yaitu:
–          Kepala yaitu wajah, rambut hingga lehernya
–          Kedua lengan hingga lengan atas
–          Kedua kaki hingga betisnya
Dan tidak mengapa jika bagian yang hendak dilihat disampaikan terlebih dahulu melalui perantaranya sebelum bertemu agar tidak terjadi kesalahpahaman. Dan tidak mengapa jika seorang laki-laki melihat bagian-bagian tersebut dalam keadaan tidak diketahui si wanita jika dikhawatirkan si wanita merasa malu ketika dilihat.

-          Tidak diperbolehkan bagi wanita yang hendak di-nazhar memakai wewangian, bersolek mempercantik diri baik dengan pakaian maupun kosmetik
Yang dimaksud adalah ber-tabarruj yaitu berdandan ala jahiliah dengan perhiasan, kosmetik, dan pakaian-pakaian yang tidak sepantasnya. Karena tidak boleh bagi seorang wanita ajnabiah bersolek di hadapan laki-laki ajnabi. Selain itu, tabarruj adalah menambah sesuatu pada diri agar mempercantik penampilannya, dan terkadang dapat mengubah keadaan yang sebenarnya. Hal ini menghalangi maksud dari nazhar itu sendiri yaitu untuk mendapatkan kecondongan fisik. Jika keadaan yang ditampakkan tidak sebenarnya maka seakan ada talbis (pengaburan/penipuan) dan dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

Demikianlah syarat-syarat yang ditekankan para ulama dalam proses nazhar. Hendaknya, janganlah seseorang melangkah kedalam proses nazhar kecuali benar-benar mengerti syarat-syarat tersebut. Karena sebagaimana telah tersebut di atas, pada asalnya melihat seorang wanita ajnabiah adalah dilarang akan tetapi menjadi diperbolehkan karena ada kebutuhan padanya, sehingga hendaknya syarat-syarat ini diperhatikan.
  1. Khitbah (melamar)
Khitbah adalah melamar atau permintaan seorang laki-laki kepada wali seorang wanita untuk menikahi wanita tersebut. Sehingga dengan pengertian (definisi) ini, seseorang yang baru memulai proses atau baru sampai pada tahap ta’aruf (mengenal kondisi calon pasangan) belum meminta kepada orang tua si wanita, belumlah dikatakan mengkhitbah. Hal ini perlu dipahami dengan baik, karena pada khitbah ada larangan bagi seorang laki-laki muslim meng-khitbah wanita yang telah di-khitbah saudaranya sesama muslim. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan janganlah seorang laki-laki meng-khitbah seorang wanita di atas khitbah saudaranya sesama muslim hingga dia menikahi atau dia meninggalkannya.” (HR. Al-Bukhari dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu).

Juga sebagaimana dalam hadits yang lain, Abdullah Ibnu Umar radhiallahu anhuma, berkata (yang artinya), “Nabi shalallahu alaihi wa sallam melarang sebagian dari kalian berjual beli di atas jual beli saudaranya dan janganlah seorang laki-laki mengkhitbah (seorang wanita) di atas khitbah saudaranya (sesama muslim) hingga peng-khitbah pertama meninggalkannya (memutuskan membatalkan lamarannya) atau (boleh meng-khitbah) dengan seijin pelamar yang pertama.” (HR. Al Bukhari)

Dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan larangan untuk melamar wanita yang telah dilamar saudaranya sesama muslim. Para ulama berbeda pendapat tentang batasan larangan tersebut, apakah sekedar meminta seorang wanita kepada walinya dalam keadaan belum dijawab oleh pihak wanita sudah termasuk dalam larangan tersebut ataukah tidak. Sebagian berpendapat tidak mengapa apabila pihak wanita belum memberikan jawaban. Hal ini dikarenakan adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya dari jalan Fathimah binti Qais radhiallahu anhuma yang menceritakan keadaannya yang sedang menjanda kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, maka beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

“Maka jika telah selesai masa iddahmu kabarilah aku.’ Fathimah binti Qais radhiallahu anhuma berkata, ‘Maka ketika aku telah selesai masa iddah, aku memberitahukan beliau bahwasannya Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm melamarku. Maka beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Adapun Abu Jahm maka dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari punggungnya (kiasan dari sering berpergian atau sering memukul). Adapun Muawiyah maka sesungguhnya dia fakir, tidak memiliki harta, maka menikahlah engkau dengan Usamah bin Zaid.” Maka aku tidak menyukainya (usul beliau). Kemudian beliau berkata lagi, “Menikahlah dengan Usamah.” Maka aku akhirnya menikah dengannya, maka Allah kemudian menjadikan dalam pernikahan tersebut kebaikan dan kebaikan-kebaikan tersebut membahagiakan diriku.”

Dari hadits tersebut beberapa ulama menyatakan tidak mengapa melamar seorang wanita ketika pihak wanita belum memberikan jawaban. Hal ini terlihat dari kabar yang dibawa Fathimah binti Qais radhiallahu anha tentang 2 laki-laki yang melamarnya dalam keadaan dia masih bingung untuk menentukan pilihan, dan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tidak melarang hal tersebut, bahkan beliau memberi penjelasan tentang kedua orang yang datang tersebut dan menganggap keduanya kurang cocok untuk Fathimah sehingga beliau memberikan alternatif lain yaitu Usamah bin Zaid. Di dalam hadits tersebut juga terdapat faedah bolehnya menyebutkan kekurangan-kekurangan ketika diperkirakan akan menimbulkan mudarat apabila disembunyikan.

Akan tetapi, agama Islam adalah agama yang berpondasikan kemaslahatan umum dan mencegah mudarat yang umum pula. Oleh karennya, dalam masalah ini yang terbaik adalah menunggu selesainya suatu proses yang sedang dijalani seseorang terlebih dahulu, karena dikhawatirkan perbuatan tersebut akan membawa kepada permusuhan antara sesama kaum muslimin. Dan syariat Islam sangat menjaga agar perkara-perkara tersebut tidak terjadi. Maka, hal ini dikembalikan kepada kaidah umum yaitu “mencegah mudarat adalah lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan” karena dasar inilah, hal itu menjadi tidak diperbolehkan.

Sehingga, seorang perantara atau wasilah hendaknya bertanya dengan jelas keadaan wanita tersebut, apakah sedang dalam proses menuju pernikahan ataukah tidak. Jika ternyata wanita tersebut tidak sedang berproses dengan siapa pun, barulah memulai proses yang hendak dia ajukan.

Dan pihak wanita itu sendiri, ketika ada seorang laki-laki meng-khitbah-nya, hendaknya dia dan keluarganya bersegera memberikan keputusan apakah menerima lamaran tersebut ataukah menolaknya. Jangan memperlama keputusan tanpa alasan yang jelas. Dan apabila lamaran telah diterima, maka tidak boleh baginya memulai proses dengan laki-laki lain tanpa seijin pelamar yang pertama.

Hendaknya pula pihak laki-laki bersegera menyatakan keputusannya apakah hendak melanjutkan atau membatalkan ketika pihak wanita telah menyatakan keputusannya untuk melanjutkan proses. Dia jangan menggantung keputusan dan memberikan waktu yang terlalu lama bagi pihak wanita untuk menunggu tanpa kepastian, atau memperlama proses tanpa keputusan yang jelas bagaimana status proses tersebut seanjutnya. Tentunya ketika hal ini dilakukan oleh pihak laki-laki, maka pihak wanita sangatlah dirugikan, karena ada penghalang bagi si wanita untuk membuka proses dengan laki-laki lain selama dia masih berada dalam lamaran laki-laki yang pertama.

Allahu akbar! Maha Besar Allah dengan segala aturan-Nya. Betapa kita bisa melihat proses syar’i dalam mencari pendamping hidup dalam syariat Islam diatur dengan begitu indahnya. Dengan memerhatikan kemaslahatan dari segala sisi dan mencegah mudarat dari berbagai sisi pula.

Demikianlah, ketika semua tahapan ini telah dilalui, maka proses bisa dilanjutkan ke arah yang lebih serius seperti membicarakan hari pernikahan, acara pernikahan, pembiayaan dan lain sebagainya yang tentunya semua dilakukan tanpa meninggalkan musyawarah dengan berbagai pihak dari kedua keluarga. Minimalkan terjadinya penyimpangan syariat di dalam setiap langkah yang dilakukan untuk tercapainya pernikahan tersebut. Karena segala sesuatu yang sesuai dengan tuntunan syariat pasti akan membawa keberkahan dan akhir yang baik, insya Allah.


Sumber: Majalah Qudwah Edisi 17 Vol. 2 1435 H/ 2014 M hal. 40-46, 110-111.

Untuk membaca artikel sebelumnya, silahkan klik tautan berikut….. Yang Syar’i dalam Mencari Pendamping Hidup (bagian 1 dari 2)

Posting Komentar untuk "Yang Syar’i Dalam Mencari Pendamping Hidup (Bag.2 – selesai)"