Ilmu Sebelum Berucap dan Beramal
(Penulis: Al-Ustadz Syafi’i bin Shalih al-Idrus)
Dalam
Islam, ucapan ataupun amalan tidak akan sah dan diterima melainkan jika
terkumpul padanya dua syarat: ikhlas karena Allah dan sesuai dengan
syariat. Tidak mungkin seseorang mengetahui bahwa amalannya cocok dengan
syariat melainkan dengan ilmu.
Definisi Ilmu
Ketahuilah,
wahai saudariku, apabila ilmu disebutkan secara mutlak, tidak dikaitkan
dengan ilmu-ilmu tertentu, yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Ilmu
syar’i adalah ilmu tentang Kitabullah –al-Qur’an– dan sunnah Rasulullah
menurut pemahaman para salafush shalih.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi rahimahullah di dalam risalahnya, Tsalatsatul Ushul, mendefinisikan ilmu syar’I dengan ma’rifatullah (mengenal Allah), ma’rifatu nabiyyih (mengenal Nabi-Nya), dan ma’rifatu dinil Islam bil adillah (mengenal
agama Islam dengan dalil-dalilnya). Tiga hal tersebut adalah pilar
agama yang wajib diketahui oleh setiap muslim dan muslimah. Terkait
dengan ketiga hal tersebut pulalah para hamba akan diuji oleh Allah
melalui dua malaikat-Nya di alam kubur mereka. Nas’alullah as-salamah wal ‘afiyah (kita memohon kepada Allah keselamatan dan perlindungan).
Keutamaan Ilmu dan Keharusan Adanya Sebelum Ucapan dan Amalan
Suatu
ketika, Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah ditanya tentang keutamaan
ilmu. Beliau menjawab, “Tidaklah engkau mendengar firman Allah subhanahu
wa ta’ala ketika Dia memulai perintah-Nya dengan ilmu? Dia berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ
“…maka ketahuilah bahwasannya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah dan mohonlah ampun akan dosamu.” (QS. Muhammad[47]: 19)
Dia memerintahkan beramal setelah memerintahkan berilmu.” Disebutkan oleh al-‘Aini dalam ‘Umdatul Qari)
Sisi
pendalilan ayat tersebut sangat jelas. Allah subhanahu wa ta’ala
memerintah Nabi-Nya shalallahu alaihi wa sallam dengan dua hal: ilmuilah
(ketahuilah) dan mohonlah ampun. Perintah pertama agar berilmu dan
perintah kedua agar beramal, yaitu istigfar. Didahulukannya perintah
berilmu sebelum perintah beramal dalam ayat tersebut menunjukkan
keutamaan ilmu sekaligus kewajiban berilmu sebelum beramal. Istigfar
sendiri mengandung ucapan dan amalan.
Oleh karena itu, didalam Shahih-nya, al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan satu bab yang beliau beri judul “Bab al-‘ilmu qabla al-qaul wa al-‘amal” (Bab ilmu itu sebelum ucapan dan amalan). Kemudian, beliau berdalil dengan ayat ke-19 surat Muhammad tersebut.
Mengomentari ucapan al-Bukhari rahimahullah “Bab al-‘ilmu qabla al-qaul wa al-‘amal”
ini, Ibnul Munayyir rahimahullah, salah seorang ulama Mesir yang hidup
pada abad ke-7 Hijriah, berkata, “Maksud beliau, ilmu itu syarat sahnya
ucapan dan amalan. Ucapan dan amalan tidaklah teranggap kecuali dengan
ilmu. Maka dari itu, ilmu didahulukan daripada keduanya.”
Ibnul
Munayyir rahimahullah juga mengatakan bahwa ilmu itu akan memperbaiki
keadaan niat seseorang. Ucapan dan amalan tidak akan baik kecuali
apabila niat telah baik.
Dari
ayat tersebut juga diketahui bahwa masalah tauhid wajib dimengerti oleh
setiap orang dan tidak diperkenankan padanya taklid. Dalam masalah ini,
asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu asy-Syaikh hafizhalullah menjelaskan,
“Seorang mukmin teranggap tidak bertaklid dan berdalil dengan benar
tentang masalah-masalah yang diketahui dan diyakininya ini apabila dia
mengetahui dalil masalah tersebut sekali dalam seumur hidup, kemudian
meyakini apa yang ditunjukkan oleh dalil tersebut. Kalau dia bisa
istiqomah di atas keyakinannya itu sampai dijemput oleh ajal, dia mati
di atas keimanan. Tidak disyariatkan dia senantiasa mampu menyebutkan
dalil dan sisi pendalilannya. Jadi, terkait dengan pengetahuan seorang
hamba tentang kebenaran dalam menjawab ketiga masalah ini, dia wajib
mendasarkannya pada dalil dan sisi pendalilannya walau sekali dalam
seumur hidupnya.” (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu asy-Syaikh).
Dari
sini, mari kita introspeksi diri. Sudahkah amalan kita – syahadat,
shalat, puasa, adab, akhlak, muamalah, dst – didasari oleh ilmu?
Tercelanya Ilmu Tanpa Amal dan Amal Tanpa Ilmu
Ilmu
dan amal adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Jika ilmu ibarat
pohon, amal adalah buahnya. Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon yang
tidak berbuah. Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah wajib
beramal berdasarkan ilmu dalam setiap urusan.
Didalam
setiap shalat, kita memohon kepada Allah agar ditunjuki jalan yang
lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah diberi nikmat, bukan jalan
orang-orang yang dimurkai oleh Allah dan bukan jalan orang-orang yang
tersesat. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ الْيَهُودَ مَغْضُوبٌ عَلَيْهِمْ وَإِنَّ النَّصَارَى ضُلَّالٌ
“Sesungguhnya
kaum Yahudi adalah orang-orang yang dimurkai, sedangkan kaum Nasrani
adalah orang-orang yang tersesat.” (HR. at-Tirmidzi dari ‘Adi bin Hatim,
dinyatakan shahih oleh al-Albani)
Orang
yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya, dia telah mengikuti
jalan orang-orang Yahudi. Adapun orang-orang yang beramal tanpa ilmu,
dia telah mengikuti jalan orang-orang Nasrani.
Para
ulama salaf mengatakan, “Berhati-hatilah kalian dari kesesatan orang
alim (berilmu) yang tidak menjalankan ilmunya dan dari ahli ibadah yang
bodoh. Sebab, kesesatan mereka berdua adalah sebab sesatnya setiap orang
yang terjerumus dalam kesesatan.” (LIhat Iqtidha’ ash Shirathil Mustaqim karya Ibnu Taimiyah rahimahullah).
Hal
ini terjadi karena umat meneladani para ulama dan ahli ibadah mereka.
Apabila para ulamanya bejat dan ahli ibadahnya sesat, meratalah musibah
pada umat.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa kehancuran Islam disebabkan oleh ulam empat jenis manusia:
1. Orang yang berilmu tetapi tidak beramal
Jenis
manusia ini paling berbahaya bagi orang-orang awam karena mereka
senantiasa menjadikan jenis orang ini sebagai hujah dalam setiap
kebinasaan.
2. Ahli ibadah yang bodoh
Orang-orang
awam akan selalu berbaik sangka terhadapnya karena ibadah dan
kesalehannya. Mereka pun mengikutinya di atas kebodohannya.
3. Orang yang tidak berilmu dan tidak beramal
Orang yang seperti ini ibarat binatang.
4. Para delegasi iblis di muka bumi
Mereka
menghalangi manusia dari menuntut ilmu dan mempelajari agama. Mereka
lebih berbahaya daripada setan-setan dari kalangan jin. Mereka
menghalangi hati manusia dari hidayah Allah dan jalan-Nya.
Kemudian,
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kejelekan empat jenis manusia ini
tidak akan terbongkar melainkan dengan ilmu. Maka dari itu, seluruh
kebaikan – dengan berbagai sisinya – kembali kepada ilmu dan yang
terkait dengannya. Demikian pula kejelekan dengan berbagai coraknya,
kembali kepada kebodohan dan yang terkait dengannya.” (Lihat Miftarus Daris Sa’adah karya Ibnul Qayyim rahimahullah).
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita tentang tercelanya ilmu yang tidak diamalkan dan amalan yang tidak didasari ilmu.
Contoh Amalan Tanpa Ilmu
Belum
lenyap dariingatan kita bencana demi bencana yang melanda negeri ini.
Mulai dari tsunami, gempa bumi, gunung meletus di beberapa tempat,
banjir bandang di beberapa provinsi, hingga kecelakaan pesawat terbang
silih berganti. Terlepas dari perbedaan pendapat manusia tentang sebab
terjadinya bencana, yang pasti semua itu terjadi atas kehendak Allah
subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ
“Tidak ada satu musibah pun yang menimpa seseorang melainkan dengan izin Allah.” (QS. at-Taghabun[64]: 11)
Yang akan kita bicarakan di sini adalah bagaimana manusia menyikapi kejadian demi kejadian tersebut.
Gempa
bumi yang terjadi di Yogyakarta pada 2006 menelan korban ribuan jiwa.
Banyak saudara kita di sana menyikapinya tanpa ilmu. Mereka membuat
janur kuning yang dililitkan ke tubuh mereka dengan anggapan bahwa hal
tersebut mampu menolak petaka. Sebagian yang lain menggunakan jimat
berupa gelang, kalung, atau cincin dengan keyakinan serupa. Di banyak
rumah digantungi dan ditempeli rajah-rajah untuk menghindari bencana.
Terkait
dengan Gunung Merapi, sebagian masyarakat melakukan ritual kurban
dengan menyebelih seekor kerbau yang kepalanya dikubur di tempat
tertentu dengan keyakinan mampu menolak bala. Sebagian yang lain
melakukan larung saji ke Pantai Laut Selatan dengan tujuan yang sama.
Ketika
terjadi kecelakaan pesawat terbang Adam Air, sebagian masyarakat kita
melakukan ritual kurban yang dipersembahkan kepada pemilik kubur
tertentu dengan keyakinan bahwa hal itu bisa membantu memudahkan
pencarian korban yang hilang. Sebagian yang lain mendatangi paranormal
dalam rangka ini pula. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Perhatikanlah,
wahai saudariku, betapa besar bahaya beramal tanpa ilmu. Musibah yang
menimpa raga dan dunia seseorang disikapi dengan tindakan yang justru
merupakan musibah yang menimpa agama dan akhiratnya. Bagaimanapun besar
musibah yang menimpa dunia seseorang, tidaklah seberapa dibandingkan
dengan musibah yang menimpa agamanya. Diantara doa Rasulullah shalallahu
alaihi wa sallam adalah,
وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا
“Dan janganlah Engkau jadikan musibah kami pada agama kami.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh al-Albani)
Adakah musibah yang lebih besar daripada kezaliman terbesar (syirik) ini?
Contoh
amalan lain yang sering terjadi di masyarakat kita adalah keyakinan
seseorang bahwa jika orang tua atau kerabatnya meninggal dunia, sebagai
bentuk baktinya kepada si mayit adalah dia menyembelih seekor kambing,
bebek, dan burung dara pada seribu hari kematiannya. Mereka berkeyakinan
bahwa kambing tersebut akan menjadi kendaraan si mayit di darat, bebek
menjadi kendaraannya di air, dan burung dara menjadi kendaraannya di
udara.
Banyak
sekali amalan yang tidak didasari oleh ilmu yang semua itu dilakukan
berdalihkan tradisi dan adat istiadat yang mesti dilestarikan.
Dahulu
masyarakat jahiliah memiliki tradisi apabila seekor unta betina telah
beranak lima kali, jika anak kelima lahir jantan, anak tersebut hanya
boleh dimakan oleh kaum lelaki saja. Jika lahir betina, ia dilepaskan,
telinganya dibelah (sebagai tanda), tidak boleh ditunggangi dan diperah
susunya. Jika lahir dalam keadaan mati, ia boleh dimakan oleh kaum
lelaki dan wanita. Unta betina yang telah dibelah telinganya itu disebut
bahirah.
Di
antara tradisi mereka juga, saat seseorang sakit atau safar, dia
bernazar bahwa jika sembuh dari sakit atau selamat dalam perjalanannya,
dia akan melepasbebaskan seekor unta. Unta yang dilepasbebaskan lantaran
nadzar ini disebut sa’ibah.
Mereka
juga memiliki tradisi yang lain terhadap kambing. Apabila seekor
kambing betina telah beranak tujuh kali, jika anak ketujuh lahir jantan,
anak tersebut disembelih dan dimakan. Jika lahir betina, ia dibiarkan
tidak disembelih. Jika lahir jantan dan betina, yang jantan disebut washilah dan tidak boleh disembelih karena keberadaan betina kembarannya.
Terhadap
unta, mereka juga mempunyai tradisi, apabila seekor unta jantan telah
membuntingi unta betina sepuluh kali, dia dilepasbebaskan, tidak boleh
ditunggangi, dan tidak boleh dimanfaatkan bulunya dan segala sesuatu
darinya. Unta ini disebut ham. (Lihat Fathul Bari, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani).
Tradisi
tersebut diwariskan turun-temurun oleh masyarakat jahiliah. Bisa jadi,
sepintas kita menganggap adat istiadat mereka tersebut sebagai urusan
biasa. Akan tetapi, perhatikanlah bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala
dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wa sallam menghukumi perbuatan mereka
ini.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا
جَعَلَ اللّهُ مِن بَحِيرَةٍ وَلاَ سَآئِبَةٍ وَلاَ وَصِيلَةٍ وَلاَ حَامٍ
وَلَـكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ
وَأَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ
“Allah
sekali-kali tidaklah pernah mensyariatkan adanya bahirah, sa’ibah,
washilah, dan ham. Akan tetapi, orang-orang kafir membuat-buat kedustaan
atas nama Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (QS. al-Maidah[5]: 103)
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
رَأَيْتُ عَمْرَو بْنَ عَامِرِ بْنِ لُحَيٍّ الْخُزَاعِيَّ يَجُرُّ قُصْبَهُ فِي النَّارِ وَكَانَ أَوَّلَ مَنْ سَيَّبَ السَّوَائِبَ
“Aku
melihat Amr bin Amir bin Luhay al-Khuza’i menyeret ususnya di neraka.
Dia adalah orang yang pertama kali mengada-adakan sa’ibah.” (HR.
al-Bukhari)
Lihatlah,
wahai saudariku, hukuman bagi orang yang beramal tanpa ilmu,
semata-mata berpedoman pada adat istiadat dan tradisi kaumnya. Tidakkah
hal ini cukup menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal?
Wallahu a’lam.
Dikutip dari majalah muslimah Qonitah edisi 03/vol.01/1434H-2013M halaman 9 – 13. Website resmi: http://qonitah.com.
Posting Komentar untuk "Ilmu Sebelum Berucap dan Beramal"