Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Umar Bin Abdul Aziz

(Penulis: Ustadz Abu Hafy Abdullah)
Seorang pemimpin setelah Al Khulafa Ar Rasyidin yang bijaksana sekaligus ulama yang luas ilmunya. Dialah Umar bin Abdul Aziz. Perjalanan hidup beliau sarat dengan berbagai peristiwa yang mengesankan nan indah.

Para pembaca, kita tahu bahwa komunitas suatu masyarakat mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk karakter pribadi seorang hamba. Maka Umar bin Abdul Aziz yang hidup di tengah-tengah generasi utama umat ini, benar-benar telah meniti kehidupan para pendahulunya.

Beliau tinggal di sebuah masyarakat yang shalih, semangat dalam menuntut ilmu agama, mencintai ilmu dan ulama, serta berpegang teguh dengan ajaran Al-Qur’an dan As Sunnah. Sehingga kondisi yang demikian sangat membantu pribadi Umar yang cerdas dan mencintai ilmu agama.


Beliau menghabiskan masa kecil di kota Madinah yang saat itu shahabat Nabi shalallahu alaihi wa sallam masih banyak. Bahkan, Umar sering berkunjung dan bermajlis dengan para shahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Di antaranya Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, karena beliau masih punya hubungan kekerabatan dengannya. Ayahnya, yaitu Abdul Aziz bin Marwan menikah dengan seorang wanita shalihah keturunan Umar bin Al Khaththab radhiallahu anhuma yang bernama Ummu Ashim bintu Ashim bin Umar bin Al Khaththab.

Selain Abdullah bin Umar, masih banyak tokoh shahabat dan tabi’in yang berpengaruh dalam membentuk kepribadian Umar bin Abdul Aziz. Di antaranya adalah Sa’id bin Al-Musayyib yang merupakan pembesar ulama tabi’in yang sangat kharismatik dan berwibawa. Tidak ada satu pun khalifah di masanya yang berani mengusik Sa’id ketika sedang duduk di masjid. Sa’id, ia juga tidak pernah sekali pun mendatangi khalifah atau penguasa. namun, tatkala Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, Sa’id menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Hal ini menunjukkan penghormatan sang guru terhadap muridnya yang shalih. Inilah salah satu faktor terbesar yang menjadikan Umar sebagai seorang pribadi yang shalih dan berilmu. Sehingga jabatan sebagai Khalifah dan gemerlap harta dunia tidak menghalangi untuk menjadi pemimpin yang adil lagi bijaksana.

Salah satu sifat mulia yang tetap melekat pada diri Umar meskipun beliau telah menjadi gubernur Madinah adalah kecintaannya terhadap Al Qur’an. Beliau sangat mudah menangis ketika mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan. Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa Umar bin Abdul Aziz membaca sebuah ayat dalam surat Yunus. Yaitu firman-Nya:
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِن قُرْآنٍ وَلاَ تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوداً
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan, dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur’an, dan tidak melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami telah menjadi saksi atasmu.” (QS. Yunus: 61).

Tiba-tiba Umar menangis hingga orang-orang pun mendengar tangisannya. Kemudian putranya yang bernama Abdul Malik datang lantas bertanya, “Duhai ayahku apa yang telah terjadi?” Beliau pun menjawab, “Wahai anakku, ayahmu ini tidak mengenal dunia dan dunia pun tidak mengenalnya. Demi Allah anakku, sungguh aku khawatir akan binasa, takut menjadi penghuni neraka.”

Sebagaimana beliau juga sangat senang mendengar untaian nasihat dan petuah dari para ulama. Kemudian, beliau mengambil pelajaran dan bahan introspeksi. Karena tugas sebagai khalifah bukanlah pekerjaan yang ringan. Begitu banyak godaan di sekeliling beliau yang sangat berpotensi untuk menjerumuskan dalam kesalahan dan kelalaian. Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan kepada Abu Hakim Al A’raj, “Berilah aku nasihat.” Ia pun berkata, “Berbaring lalu jadikanlah kematian seolah-olah berada di atas kepalamu. Kemudian lihat apa yang anda inginkan dalam kondisi seperti itu, maka segera lakukan sekarang. Dan apa yang tidak anda inginkan terjadi pada kondisi seperti itu, maka tinggalkan sekarang.” Tidak ada respon negatif sama sekali dari Umar tatkala mendengar nasihat tersebut, dan beliau bahkan bersyukur karenanya.

Sungguh status Umar sebagai khalifah tidak menghalanginya untuk meminta bimbingan kepada para ulama. Pada kesempatan yang lain Muhammad bin Ka’ab pernah memberikan nasihatnya kepada Umar bin Abdul Aziz, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dunia ini tidak lain sebuah pasar. Manusia keluar dari pasar tersebut dengan membawa sesuatu yang membahayakan dan mencelakakan mereka. Betapa banyak manusia yang terpedaya oleh dunia, sebagaimana kondisi kita saat ini. Kemudian ajal menjemput mereka, hingga mereka meninggalkan dunia dalam keadaan tercela. Tidak mampu mengambil bekal untuk kebahagiaan di akhirat. Tidak pula bisa memanfaatkannya sebagai perisai untuk melindungi diri mereka dari siksaan di akhirat. Sehingga mereka menjadi orang-orang yang tidak diberi udzur oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Wahai Amirul Mukminin, sepantasnya kita melihat berbagai amalan baik orang-orang tersebut yang kita inginkan lantas mengamalkannya. Kita lihat pula amalan mereka yang menjadi penyebab kebinasaan tersebut, lalu kita berusaha menghindarinya. Bertakwalah kepada Allah, bukalah pintu-pintu kerajaan, mudahkanlah hijab penghalang antara anda dengan rakyat jelata, tolonglah orang yang terzalimi. Ada tiga perkara, barang siapa menghimpun tiga perkara tersebut, niscaya ia bisa menyempurnakan keimanannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala: 1. Apabila ia ridha, maka keridhaan tersebut tidak menenggelamkannya dalam kebatilan. 2. Jika ia marah, maka kemarahannya tersebut tidak mengeluarkannya dari kebenaran. 3. Dan apabila ia mampu, ia pun tidak mengambil sesuatu yang bukan miliknya.”

Demikianlah salah satu akhlak mulia pemimpin nan rendah hati, Umar bin Abdul Aziz. Beliau sangat antusias dalam mendengarkan nasihat para ulama. Untuk kemudian menjadikannya sebagai sarana muhasabah (introspeksi) dan diamalkan dalam kehidupan dunia. Sungguh beliau sangat jauh dari sikap sombong dan angkuh terhadap kebenaran.

Kita lihat pula akhlak mulia lainnya yang senantiasa menghiasi kesibukan beliau sebagai penguasa tertinggi saat itu. Yaitu tatkala diangkat menjadi khalifah untuk menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik, Umar pernah mengatakan kepada Dukain Ad-Darimi (seorang penyair), “Saat ini aku telah memiliki yang tertinggi di dunia yaitu kerajaan. Maka aku ingin meraih yang tertinggi di akhirat yaitu surga dan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. Jikalau para raja memanfaatkan kerajaannya sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan dunia, maka aku akan menjadikannya sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Wahai Dukain, aku tidak pernah mengambil harta kaum muslimin meskipun hanya satu dinar atau satu dirham semenjak aku berkuasa di sini. Harta yang kumiliki saat ini tidak lebih dari seribu dirham. Silahkan ambil setengahnya dan tinggalkan sisanya untukku.”

Subhanallah, sungguh mengagumkan sifat amanah dan kejujuran beliau sebagai pemimpin. Sekedar mengambil harta rakyat sebanyak satu dirham pun tidak pernah beliau lakukan. Demikianlah salah satu akhlak mulia yang dimiliki oleh Umar bin Abdul Aziz. Beliau pun dikenal sebagai pemimpin yang sangat dermawan kepada rakyatnya. Pribadi yang pemurah dan penyantun kepada orang-orang miskin. Salah satu bukti yang menunjukkan kedermawanan beliau adalah kisah di atas. Beliau tidak ragu-ragu untuk menghadiahkan setengah harta yang dimiliki kepada Dukain.

Pemimpin yang bijak adalah seorang pemimpin yang selalu memerhatikan kepentingan rakyatnya. Ia juga berusaha untuk mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Inilah salah satu karakter yang sangat menonjol pada diri Umar bin Abdul Aziz. Sebagai seorang khalifah, beliau memiliki perhatian yang sangat besar terhadap rakyat jelata, terutama orang-orang miskin. Beliau tidak segan-segan keluar dari kerajaan seorang diri hanya sekedar untuk memantau keadaan rakyatnya. Tidak pula merasa gengsi dan risih untuk berbaur dengan mereka.

Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkeliling di pasar Himsha untuk melihat situasi perdagangan di pasar tersebut. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dan menghadangnya seraya mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, telah sampai berita kepadaku bahwa seseorang yang mempunyai masalah, maka ia boleh melaporkankannya kepada Amirul Mukminin secara langsung.” Beliau menjawab, “Ya, benar.” Orang itu berkata, “Di hadapan anda sekarang ini adalah orang yang terzalimi dan jauh dari tempat tinggalnya.” Rupanya laki-laki itu berasal dari negeri Yaman. Ia telah mengklaim ada pejabat setempat yang mengambil hartanya dengan cara yang zalim. Maka Umar segera mengambil tindakan dengan menulis sepucuk surat kepada gubernur di sana untuk mengecek kebenaran berita tersebut. Jika benar klaim tersebut, maka haknya harus dikembalikan. Bahkan lebih dari itu, Umar juga mengganti biaya perjalanan dan seluruh kebutuhan orang tersebut selama melakukan safar ke kota Madinah.

Begitulah Umar bin Abdul Aziz, sosok pemimpin yang berilmu, shalih, kharismatik, dan begitu perhatian terhadap rakyatnya. Sungguh beliau adalah suri tauladan yang baik bagi para pemimpin setelahnya. Allahu a’lam. 

Sumber: Majalah Qudwah Edisi 11 Vol. 1 1434 H/ 2013 M hal. 27-30.

Posting Komentar untuk "Umar Bin Abdul Aziz"